Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan RI periode 2014-2019 Nila F Moeloek menekankan bahwa kemiskinan telah menutup akses keluarga untuk menangani permasalahan stunting pada anak yang disebabkan oleh sejumlah faktor.

“Waktu di era kami, stunting itu 37,2 persen dan kita berhasil turunkan jadi 27,7 persen dan sekarang harus turun lagi jadi 14 persen pada tahun 2024. Tapi sekarang ini pandemi, saya jadi mengerti kenapa kita pesimis karena saya yakin kemiskinan yang sudah turun satu digit dulu kini naik lagi jadi 10,14 persen,” kata Nila dalam Media Briefing Pemahaman Stunting yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Nila menuturkan dengan populasi yang mengalami kemiskinan mencapai 10,14 persen, artinya dari sekitar 270 juta penduduk di Indonesia, 27 juta di antaranya merupakan warga yang mengalami kemiskinan. Hal tersebut berbahaya bagi kondisi kesehatan anak utamanya sepanjang pandemi COVID-19.

Baca juga: Nila Moeloek: Perempuan harus tahu cara entaskan stunting

Kemiskinan dapat menyebabkan akses pemberian makanan dengan gizi seimbang bagi anak jadi tidak terpenuhi. Ditambah dengan edukasi pada keluarga berekonomi miskin yang masih minim karena keterbatasan mengakses informasi kesehatan di media sosial ataupun posyandu.

Akibatnya, kemiskinan dapat meningkatkan banyak anak stunting yang menyebabkan sekitar 86 miliar sel syaraf dalam otak anak menjadi tidak terbuka dan berjalan dengan optimal karena hingga usia dua tahun anak kekurangan gizi maupun pola asuh yang tidak memadai.

Stunting juga membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) yang terendah di dunia secara stagnan dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhir. Hal itu disebabkan stunting menurunkan kecerdasan anak.

PISA yang dikeluarkan oleh OECD itu bahkan menunjukkan kalau tingkat kognitif kemampuan remaja Indonesia usia 15 tahun sangat rendah. Ia menilai jika stunting menjadi salah satu faktor utamanya.

Baca juga: Nila Moeloek: Perspektif masyarakat kunci entaskan stunting

“Anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia satu tahun, 25 persen berisiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70 dan 40 persen lainnya berisiko memiliki IQ antara 71-90,” katanya.

Nila menekankan, kemiskinan ekstrem menutup akses keluarga untuk bersekolah, sehingga dengan Indeks Pembangunan Manusia dalam indikator putus sekolah 8,4 tahun atau setara dengan SMP/Sederajat, banyak perempuan utamanya yang dipaksa mengikuti perkawinan dini tidak menulis lagi sehingga menjadi buta huruf.

Berhubung masalah stunting harus diselesaikan secara multisektoral, ia meminta pemerintah untuk berfokus pada perubahan perilaku masyarakat.

Ia menilai pemerintah masih lebih berfokus pada pembangunan infrastruktur saja, seperti jalan tol. Padahal, seharusnya pemerintah mulai berfokus membangun jamban atau sanitasi yang baik bersama Kementerian PUPR yang dapat menekan risiko stunting pada keluarga. Pembangunan termasuk dengan ventilasi yang baik agar kemiskinan yang parah tidak menyebabkan stunting dengan TBC.

Baca juga: BKKBN sebut kemiskinan musuh bersama dalam pengentasan stunting

Pembangunan desa bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi juga harus terus ditingkatkan, sembari memberi edukasi gizi dan pentingnya pemeriksaan kesehatan anak di posyandu.

“Jadi memang rakyat harus mendapatkan lingkungan rumah yang baik dan mengakses posyandu. Jadi, Menkes yang sekarang itu sudah betul dia mau transformasi kesehatan untuk posyandu. Saya katakan pendekatan keluarga itu penting,” ucap dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022