Jakarta (ANTARA) - Masih maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun 2022 mengisyaratkan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku.

Banyaknya kasus yang terungkap juga merupakan peringatan bagi semua pihak bahwa masih banyak perempuan dan anak yang masih belum mendapatkan keadilan akibat dari tindak kekerasan yang mereka alami.

Sebagai upaya menekan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, pada tahun 2022, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 9 Mei 2022.

Pengesahan UU TPKS sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang terdiri dari lima isu prioritas, salah satunya adalah penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

UU ini dinilai sebagai wujud kehadiran negara dalam upaya melindungi dan memenuhi hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan.

UU tersebut diharapkan dapat memberi pelindungan kepada anak dan perempuan dengan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak berulangnya kekerasan seksual.

Aparat penegak hukum juga didorong untuk menerapkan UU TPKS sesuai dengan amanat UU tersebut, sehingga UU tersebut dapat dijadikan sebagai payung hukum dan korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.

Selain itu juga perlu adanya koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) terkait prosedur pelindungan dan hak-hak bagi korban maupun saksi sebagaimana ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 30 UU TPKS.


Aturan turunan UU TPKS

Sementara itu, Komnas Perempuan meminta pemerintah agar segera merumuskan aturan turunan UU TPKS untuk memastikan implementasi dari UU tersebut.

"Kami menyerukan kepada Kementerian PPPA dan Kemenkumham agar memastikan langkah implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, termasuk perumusan aturan turunan dan pelaksanaan sosialisasi secara meluas," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

Menurut Andy Yentriyani, sosialisasi UU TPKS memerlukan perhatian khusus sehingga penerapan UU ini dapat segera dan bermanfaat bagi kepentingan korban.

Senada, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta aturan teknis UU TPKS segera tuntas agar ada kepastian proses hukum kasus kekerasan seksual.

"Dorongan untuk mempercepat lahirnya aturan-aturan turunan UU TPKS harus diperkuat," kata Lestari Moerdijat.

Terkait hal itu, KemenPPPA menargetkan penyelesaian peraturan turunan dari UU TPKS pada pertengahan tahun 2023.

"Mudah-mudahan pertengahan 2023 bisa selesaikan semuanya," kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga.

Bintang menuturkan bahwa saat ini peraturan turunan tersebut masih dalam proses.

"Dari mandat awal itu 'kan ada lima PP (peraturan pemerintah) dan lima perpres (peraturan presiden). Setelah kami intens melakukan komunikasi dengan kementerian/lembaga, menjadi empat PP, empat perpres," kata Bintang Puspayoga.

Seiring dengan upaya pengungkapan dan penanganan kasus kekerasan seksual, KemenPPPA terus mengampanyekan "Dare to Speak Up" kepada masyarakat agar masyarakat berani melaporkan kasus kekerasan seksual ke lembaga yang berwenang.

Bintang Puspayoga berpesan agar masyarakat berhenti menganggap kasus kekerasan seksual sebagai aib sehingga enggan melapor.

"Jangan menganggap lagi kasus itu adalah aib, tetapi kita harus berani laporkan untuk memberikan keadilan kepada korban dan efek jera kepada pelaku. Mari kita berani mengungkap kasus," kata Bintang Puspayoga.

Pihaknya pun mendorong masyarakat yang mengalami, mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan agar melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dengan telepon 129 atau aplikasi WhatsApp di nomor 08111-129-129.


Kasus Mas Bechi

Kasus kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, dengan terdakwa Moch. Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi adalah salah satu kasus kekerasan seksual yang menghebohkan publik selama 2022.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memvonis tujuh tahun kurungan penjara kepada Bechi.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim tersebut mendapatkan reaksi kecewa dari keluarga terdakwa dan para pendukungnya yang meyakini Bechi tidak pernah melakukan pemerkosaan.

Bechi sempat masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena mangkir saat dipanggil penyidik Polda Jatim sebagai tersangka.

Selain kasus Bechi, terdapat sejumlah kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang terungkap selama 2022.

Tercatat kasus kekerasan seksual di pondok pesantren di Tarakan, Kalimantan Utara, dengan korban lima santri laki-laki.

Di pondok pesantren di Tuban, Jawa Timur, dengan korban dua santriwati.

Kemudian di pondok pesantren di Muaro Jambi, Jambi, dengan korban satu santriwati.

Kasus di pondok pesantren di Depok, Jawa Barat, dengan korban 11 santriwati.

Selanjutnya kasus di ponpes di Banyuwangi, Jawa Timur, dengan korban lima santriwati dan satu santri.

Kasus kekerasan seksual yang terus berulang di pondok pesantren harus menjadi alarm bagi pemda, pengelola dan pemilik pondok pesantren, masyarakat, serta orang tua agar melakukan pengawasan ketat.

Harapannya jangan ada lagi tenaga pendidik yang membuat anak menjadi terluka fisik dan mentalnya karena mendapat perlakuan kekerasan.

Para orang tua yang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan tentu berharap agar anak mereka mendapatkan perlakuan yang baik di sekolah.

Anak-anak yang hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman akan menjadi calon generasi penerus bangsa yang unggul.

Begitu juga para perempuan termasuk para ibu yang berada dalam keluarga yang harmonis akan mencetak anak-anak yang sehat dan berprestasi.

Semua pihak harus menyadari bahwa sangat penting untuk memberikan perhatian kepada upaya pelindungan perempuan dan anak demi masa depan bangsa yang lebih baik.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022