Jakarta (ANTARA) - Jamaah calon haji Indonesia akhirnya dapat bernafas lega setelah Pemerintah Arab Saudi membuka penyelenggaraan ibadah haji 1443 Hijriah/2022 Masehi. Dalam dua tahun terakhir umat Islam harus menunda pergi ke Tanah Suci karena pandemi COVID-19.

Kabar ini tentu disambut sukacita oleh para calon haji mengingat mereka sudah menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk bisa pergi ke Tanah Suci. Saat itu, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi hanya membatasi bagi satu juta jamaah saja untuk umat Muslim dari seluruh dunia.

Indonesia yang pada 2019 mendapat kuota 214.000 harus rela dipangkas dan hanya menjadi 100.051 orang saja yang dapat berangkat pada 2022. Jumlah ini terbilang sedikit untuk peminat yang mencapai 5,2 juta orang.

Jumlah jamaah berangkat haji yang sedikit ini berimplikasi pada waktu antrean yang semakin panjang. Kendati demikian, penyelenggaraan haji 2022 patut untuk dirayakan dan syukuri.

Selain soal haji, terdapat dinamika keumatan lain yang terjadi sepanjang 2022. Kementerian Agama sebagai instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, menghadapi tantangan dalam mengawal serta memperkuat kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Sejumlah konflik soal keagamaan masih saja terjadi, meski dalam skala kecil, namun tetap saja mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Sebut saja pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, yang terjadi belum lama ini.

Moderasi beragama yang digaungkan Kementerian Agama nyatanya harus terus diupayakan dan digelorakan secara masif, agar masalah seperti ini tidak terus terjadi di masyarakat.

Permasalahan haji dan moderasi beragama merupakan salah dua dari sejumlah dinamika yang terjadi pada 2022. Kementerian Agama juga masih punya sejumlah program prioritas yang dikejar pada 2022 hingga tahun-tahun mendatang, seperti revitalisasi kantor urusan agama (KUA), transformasi digital, hingga penguatan rantai ekosistem halal.


Kabar dari Saudi

Menteri Urusan Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F. Rabiah untuk pertama kalinya berkunjung ke Indonesia dalam rangka memperkuat hubungan bilateral antara kedua negara.

Ada angin segar yang disampaikan Menteri Tawfiq untuk penyelenggaraan haji dan umrah bagi umat Muslim di Indonesia. Kepada masyarakat Muslim Indonesia, Tawfiq menyebut kuota haji pada penyelenggaraan 2023 akan kembali ke kuota semula, seperti saat sebelum pandemi.

Kabar ini tentu harus disikapi dengan gembira karena akan memangkas antrean haji yang waktunya sudah mencapai puluhan tahun untuk calon jamaah haji Indonesia.

Kendati menyampaikan kabar gembira, adapula kabar yang membuat Kementerian Agama mesti memutar otak. Arab Saudi secara mendadak menaikkan biaya Masyair pada 2022 hingga Rp1,5 triliun.

Lewat kenaikan biaya Masyair itu, penggunaan nilai manfaat dana operasional musim haji 2022 mencapai hampir 60 persen dari total penyelenggaraan ibadah haji. Sementara biaya yang dibayar jamaah hanya sekitar 40 persen.

Maksudnya, dengan kenaikan biaya Masyair membuat biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) menjadi membengkak. Rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1443 Hijriah/2022 Masehi untuk jamaah reguler sebesar Rp86,5 juta. Sementara biaya yang dibayar langsung jamaah haji sebesar Rp39,6 juta per orang.

Artinya, sekitar 60 persen biaya perjalanan haji masyarakat Indonesia disubsidi dari nilai manfaat optimalisasi keuangan haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Apabila penggunaan nilai manfaat tidak diproporsionalkan, maka nilai manfaat dana operasional haji yang dikelola BPKH akan terus tergerus. Kemenag menyebut proporsi penggunaan nilai manfaat dana operasional idealnya sekitar 30 persen. Permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kemenag.

Sementara kabar penyelenggaraan umrah, vaksin meningitis bukan lagi menjadi persyaratan wajib keberangkatan. Vaksin tersebut hanya diwajibkan bagi jamaah haji. Tidak diwajibkannya vaksin meningitis menjadi kabar yang disambut hangat oleh penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU).

Apalagi dalam beberapa tahun ke belakang, vaksin meningitis menjadi tajuk utama karena kelangkaan vaksin di lapangan. Biro perjalanan menyebut tak sedikit jamaah calon umrah yang harus menunda keberangkatan karena langkanya vaksin meningitis.


Moderasi beragama

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memandang bahwa moderasi beragama merupakan upaya mengembalikan pemahaman dan pengamalan agama agar sesuai dengan esensinya, yaitu menjaga harkat dan martabat manusia. Dalam Islam, hak utama untuk hidup dan menghormati martabat manusia adalah hak asasi manusia.

Indonesia sebagai negara multikultural dan multiagama ditantang untuk mengelola keragaman dan permasalahan sosial keagamaan. Belakangan, ada beberapa orang yang memiliki pemikiran keagamaan eksklusif dan ekstrem.

Mereka mengklaim kebenaran hanya untuk dirinya sendiri dan menyalahkan orang lain. Hal ini menimbulkan ketegangan di masyarakat dan mengancam kerukunan intra dan antarumat beragama di Indonesia.

Ada tiga tantangan yang harus dihadapi dalam proses penguatan moderasi beragama. Pertama, berkembangnya pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan bertolak belakang dengan esensi ajaran agama.

Kedua, munculnya klaim kebenaran atas tafsir agama. Ada sebagian orang yang merasa paham tafsir keagamaannya saja yang paling benar, lalu memaksa orang lain yang berbeda untuk mengikuti pahamnya. Bahkan, bila perlu dengan menggunakan cara paksaan dan kekerasan.

Sementara tantangan ketiga, pemahaman yang dapat mengancam, bahkan merusak ikatan kebangsaan. Kasus pelarangan perayaan Natal di Cilebut, Bogor, menjadi bukti nyata bahwa moderasi beragama perlu terus digaungkan hingga tingkat paling bawah.

Masih adanya pelarangan ibadah bagi sebagian masyarakat menandakan bahwa ada pola pikir yang perlu dibenahi. Mental mayoritas-minoritas membentuk perasaan bahwa mayoritas lebih berhak dan minoritas hanyalah kelompok kelas kedua.

Apabila faktor-faktor di atas terus-menerus terjadi, maka pelarangan ibadah maupun semacamnya bisa jadi akan terus terjadi atau bahkan semakin runyam.

Paling penting dari agenda moderasi beragama ini adalah menjaga agar tidak muncul polarisasi di masyarakat yang justru dapat mempertajam konflik. Kemenag dan masyarakat pada umumnya harus menjaga agar tidak terjadi pelabelan "orang moderat" dan "tidak moderat".

Jika akhirnya muncul pelabelan itu, maka semangat moderasi beragama telah gagal menjalankan tugasnya.

Patut untuk ditunggu sejauh mana implementasi kebijakan yang digulirkan Kementerian Agama dalam menyelenggarakan perjalanan ibadah haji yang proporsional dan meredam polarisasi pemikiran.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022