Kolaborasi yang solid antarinstitusi berwenang di laut bisa mengatasi permasalahan narkoba ...
Jakarta (ANTARA) - Berbicara soal penyelundupan narkoba di laut memang seolah tidak ada habisnya. Karena, jalur laut saat ini menjadi primadona bagi para pelaku untuk mendistribusikan barang ilegal berbahaya tersebut.

Masalah penyelundupan narkoba di laut juga menjadi sorotan negara-negara Asia Tenggara. Hal tersebut disinyalir dengan pesatnya perkembangan peredaran narkoba di Asia Tenggara, mulai dari produsen, konsumen, hingga distributor, yang semuanya ada semenjak era pandemi.

Ketika COVID-19 mengancam seluruh dunia kemudian negara-negara membatasi akses masuk dan membatasi perjalanan internasional di darat, para pengedar narkoba langsung mengalihkan jalur bisnisnya ke laut.

Situasi tersebut menggambarkan bagaimana suatu kejahatan dengan cepat beradaptasi dengan kondisi yang berkembang. Kondisi ini juga membuat ancaman keamanan maritim menjadi lebih kompleks dan kuat. Apalagi negara-negara Asia Tenggara terlihat masih kelimpungan menghadapi berbagai ancaman, baik bersifat tradisional maupun nontradisional, termasuk berkutat pada masalah konflik di Laut China Selatan.

Padahal ancaman nontradisional seperti kejahatan transnasional penyelundupan narkoba juga menjadi masalah yang mesti dipertimbangkan solusinya oleh setiap negara.

Apalagi bila mencermati pernyataan Kepala BNN Petrus Reinhard Golose beberapa waktu silam yang menyatakan bahwa 95 persen narkoba yang ada di Indonesia itu berasal dari jalur laut.

Kartel internasional narkoba memiliki tiga jaringan narkoba: Thailand, Myanmar, dan Laos, menjadi yang pertama dan dikenal sebagai "The Golden Triangle" atau jaringan Segitiga Emas. Ada juga  pabrik atau produsen obat-obatan terlarang di Vietnam dan Kamboja. Selain itu, ada "Bulan Sabit Emas", yang mencakup Iran, Pakistan, dan Afganistan. Serta Amerika Latin yang berjulukan "The Golden Peacock”.

Pernyataan dari Kepala BNN tersebut harus kita renungkan agar bisa diantisipasi bersama dan menjadi alarm berbahaya bagi Pemerintah untuk lebih melakukan proteksi terhadap jalur laut kita, agar narkoba tak sampai masuk ke wilayah Indonesia.

Kepala Bakamla RI Aan Kurnia juga memprediksi bahwa narkoba merupakan ancaman maritim paling berbahaya pada tahun 2023. Ada pola yang menarik terkait penyelundupan narkoba ke Pulau Jawa yang mulai bergeser, sudah tak lagi lewat jalur darat tetapi melalui laut. Para penyelundup berlayar dari pesisir pantai barat Sumatera lalu mendarat di pesisir Jawa Barat.

Pernyataan tersebut bukanlah tanpa alasan, karena beberapa tahun terakhir ini penyelundupan narkoba melalui jalur laut marak terjadi. Namun, untungnya masih bisa diantisipasi dengan baik oleh aparat.

Seperti halnya dilakukan Bakamla RI yang berkolaborasi apik dengan BNN. Dalam operasi bersama tersebut kedua institusi tersebut berhasil menggagalkan 21 paket sabu-sabu seberat 436,30 kilogram dengan nilai sekitar Rp1--2 triliun. Hasil kerja bareng ini berhasil menyelamatkan generasi bangsa  terhindar dari penyalahgunaan narkotika yang berkaitan erat dengan aspek ketahanan nasional suatu bangsa.

Kronologi operasi penggalan penyelundupan sabu-sabu itu merupakan hasil informasi dari masyarakat setempat bahwa banyak paket narkoba yang masuk ke Jakarta. Atas dasar informasi tersebut, tim gabungan Bakamla RI dan BNN melakukan penyelidikan mendalam dan menemukan bahwa paket narkoba tersebut berada di salah satu pulau di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Bayangkan jika sabu-sabu ratusan kilogram tersebut sampai lolos dari sergapan aparat dan beredar di masyarakat. Betapa banyak generasi muda terancam terjebak dalam narkotika. Ini tentu akan berbahaya bagi masa depan bangsa.

Merujuk data BNN bahwa saat ini terdapat sekitar 3,6 juta orang Indonesia terpapar narkoba dan penggunanya mayoritas adalah anak muda.

Selain itu, kasus lain yang berkaitan dengan penyelundupan narkoba di laut juga digagalkan oleh Polda Jawa Barat di Perairan Pangandaran, dengan berat barang ilegal ini hampir 1 ton pada Maret 2022. Yang terbaru yakni pada akhir tahun 2022, TNI AL berhasil menggagalkan pengiriman 45 ton sabu-sabu di perairan Lhokseumawe.

Melihat keberhasilan tersebut maka kinerja masing masing institusi kemaritiman dalam mengantisipasi penyebaran narkoba di Tanah Air melalui jalur laut sudah berjalan dengan baik. Namun ada hal yang masih menjadi catatan karena masing masing institusi tersebut kerap berjalan sendiri-sendiri.

Padahal alangkah baiknya bila semua institusi yang memiliki tanggung jawab di laut bisa melakukan kolaborasi yang solid, mengingat kompleksnya permasalahan serta tingginya penyebaran narkoba di laut.

BNN sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam penanganan masalah narkoba dapat melakukan berbagai macam kolaborasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan di laut.

Seperti Bakamla RI yang secara tugas dan fungsinya sebagai koordinator dalam menangani patroli keamanan laut untuk mencegah berbagai macam potensi ancaman sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2022 dan UU Nomor 32 Tahun 2014.

Narkoba merupakan musuh bersama (common enemy) yang penanggulangannya tidak hanya menjadi tanggung jawab BNN, tapi menjadi tanggung jawab institusi lain yang berwenang di laut untuk turut serta mendukung pencegahan penyelundupan melalui jalur laut dengan membangun sistem serta pendekatan khusus.

Kolaborasi yang solid antarinstitusi berwenang di laut bisa mengatasi permasalahan narkoba yang masuk ke Tanah Air sehingga kurang menarik bagi para pengedar narkoba untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar yang aman bagi mereka untuk bertransaksi bisnis barang ilegal tersebut terutama dalam pengiriman barang perusak generasi bangsa ini.

Pada dasarnya kolaborasi keamanan maritim juga memiliki manfaat untuk melakukan pertukaran informasi dalam proses pengamanan di laut untuk memperkuat intelijen maritim. Oleh karena itu dibutuhkan konsep network centric warfare (NCW) atau peperangan berbasis pada konektivitas jaringan komunikasi dan data seketika (real time) yang menjadi penentu dari keberhasilan operasi keamanan di laut.

Jika pola kolaborasi ini bisa berjalan dengan baik untuk memperkuat keamanan maritim kita maka para pelaku perdagangan obat-obatan terlarang akan ketakutan dan berhenti melakukan kegiatan ilegal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, kolaborasi solid antarinstansi yang memiliki kewenangan di laut bisa menjadi faktor deteren atau penggentar bagi penyelundup narkoba untuk memasuki perairan Indonesia.


*) Muhammad Sutisna adalah Co Founder Forum Intelektual Muda



Editor: Achmad Zaenal M






 

Copyright © ANTARA 2023