Ankara (ANTARA) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki Mevlut Cavusoglu, Selasa (17/1), mengatakan keputusan kejaksaan Swedia untuk tidak menyelidiki lebih lanjut terhadap aksi protes dengan menggunakan boneka menyerupai Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Stockholm adalah tidak masuk akal.

"Keputusan kantor kejaksaan (Swedia) untuk tidak menyelidiki insiden tersebut sangat absurd, dan kita semua tahu apa arti dari aturan hukum," kata Cavusoglu dalam konferensi pers bersama Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian yang sedang berkunjung di Ankara, Turki, Selasa.

Insiden itu merupakan aksi kejahatan kebencian yang bersifat rasis and penuh kebencian. Cavusoglu juga menilai aksi itu bertentangan dengan nilai-nilai universal serta merupakan tindak kejahatan menurut hukum internasional.

Swedia, tambahnya, seharusnya tidak mencoba membodohi Turki dengan menyebut insiden itu sebagai kebebasan berbicara.

Negara Nordik tersebut, katanya, entah akan menjadi korban ranjau yang diletakkan para teroris atau melangkah maju dengan memenuhi persyaratan kesepakatan yang dicapai dengan Turki.

Pekan lalu, sekelompok pengunjuk rasa menggantung terbalik sebuah boneka yang menyerupai sosok Erdogan di Stockholm dan menyebarkan rekaman videonya di media sosial. Ankara mengatakan para pengunjuk rasa adalah pendukung Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang ilegal.

Swedia bersama dengan Finlandia mengajukan permohonan untuk bergabung dengan NATO pada pertengahan Mei 2022. Namun, Turki yang merupakan anggota NATO keberatan dengan permohonan kedua negara Nordik tersebut karena hubungan kedua negara itu dengan PKK.

Pada 28 Juni 2022, Turki, Swedia, dan Finlandia mencapai nota kesepahaman (MoU) sebelum Ankara mencabut hak vetonya menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO di Madrid. Parlemen Turki belum meratifikasi permohonan dari negara-negara Nordik tersebut, dengan alasan keduanya belum memenuhi permintaan Turki.

PKK, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, telah melakukan pemberontakan melawan pemerintah Turki selama lebih dari tiga dekade.

Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023