Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi (MKE) menilai Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) berpotensi menimbulkan dampak multidimensi bagi rakyat Indonesia.

Untuk itu, MKE mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas pemenuhan hak demokrasi, perlindungan HAM, hak atas keadilan sosial dan atas lingkungan yang berkelanjutan sebelum menandatangani perjanjian tersebut.

"Perundingan Indonesia EU-CEPA ini tidak inklusif dan tidak membuka ruang transparansi," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rahmat Maulana Sidik dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

MKE menyatakan sikap tersebut sebagai respons terhadap putaran perundingan IEU-CEPA ke-13 yang digelar di Bali pada 6-10 Februari 2022.

Rahmat mengatakan informasi terkait perkembangan isu yang dibahas secara substansi dalam Perundingan IEU-CEPA sangat minim.

Oleh karena itu, ia menilai perundingan perjanjian tersebut dapat berkontribusi memengaruhi iklim demokrasi di Indonesia.

Sementara itu, peneliti pada Transnational Institute (PTI), Rachmi Hertanti, menilai upaya Uni Eropa untuk memperoleh akses mineral di Indonesia melalui bab yang terkait energi dan bahan baku akan memperdalam eksploitasi sumber-sumber ekstraktif di Indonesia.

Perjanjian tersebut juga dinilai akan meningkatkan kerusakan lingkungan dan menambah potensi pelanggaran HAM bagi masyarakat yang terdampak di area industri.

Sementara, pengaturan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) di dalam bab Investasi IEU-CEPA juga dinilai akan membuka kembali potensi Indonesia digugat oleh korporasi multinasional di lembaga arbitrase Internasional seperti ICSID.

"IEU-CEPA hanya akan mendorong perluasan ekonomi ekstraktif di Indonesia. Ini akan menjadi persoalan serius dalam mewujudkan agenda transisi yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia," katanya.

Peneliti Anang F. Sidik dari Kaoem Telapak mengatakan perjanjian tersebut secara tidak langsung sulit mendorong perubahan kebijakan tata kelola lingkungan, terutama tata kelola perkebunan sawit jika tidak ada komitmen kuat dari pemerintah Indonesia dan Uni Eropa.

"Bab Trade and Sustainable Development (TSD) yang digadang menjadikan IEU-CEPA sebagai 'green FTA'
juga tidak menunjukkan keseriusan komitmen kedua belah pihak dalam perlindungan lingkungan dan perlindungan HAM,"  katanya.


Baca juga: RI-Uni Eropa percepat IEU CEPA guna tingkatkan investasi & perdagangan

Baca juga: Kementerian ESDM tekankan kemitraan internasional dukung ekonomi baru


 

Trade Expo Indonesia hasilkan transaksi 678,1 juta dolar AS

Pewarta: Katriana
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023