Jakarta (ANTARA) - Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) meminta pemerintah untuk lebih aktif melakukan jemput bola guna memantau langsung kondisi kesehatan anak-anak Indonesia di tiap daerah.

“Sebenarnya saya ingin BKKBN dan Kemenkes itu membuat terobosan dengan jemput bola tadi. Karena banyak hal telah terjadi di lapangan, banyak masyarakat yang tidak punya inisiatif tinggi datang ke posyandu,” kata Sekretaris Jenderal KOPMAS Yuli Supriati dalam Media Briefieng KOPMAS yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Yuli menuturkan jemput bola yang dilakukan untuk memberikan layanan kesehatan dari rumah ke rumah, dapat efektif mendata secara lebih riil setiap indikator dalam pemantauan tumbuh kembang seorang anak.

Sebab, KOPMAS menemukan masih ada daerah yang tidak memiliki akses menjangkau posyandu ataupun puskesmas akibat terhalang jarak dan jenis demografi. Temuan lainnya adalah kesadaran masyarakat yang masih kurang terkait pentingnya posyandu.

Baca juga: KOPMAS: Masih ada daerah yang tak dapat akses layanan posyandu

Baca juga: Kopmas ingatkan perbedaan data stunting tidak korbankan hak anak


“Masyarakat belum semangat sekali ke posyandu. Ketika sudah terkendala jarak atau membutuhkan kendaraan misalnya, atau ketika orang tuanya seorang petani. Posyandu itu kan kegiatannya pagi, ya, jadi kadang mereka berpikir anaknya sehat-sehat saja, lebih baik pergi ke ladang. Ini kendala,” ujarnya.

Menurut Yuli, selain menjemput bola, pemerintah juga bisa melatih para kader posyandu supaya mampu bekerja lebih baik. KOPMAS menyoroti masih terdapat kader yang datang ke posyandu hanya untuk sekadar mencatat data anak saja.

Walaupun salah satu tugas utama kader mencatat tinggi dan berat badan anak, banyak kader tidak mempunyai rasa inisiatif untuk mengetahui alasan tumbuh kembang anak tidak optimal, misalnya penyebab anak terkena stunting.

“Mereka tidak berusaha untuk menemukan ketika dia menemukan anak dengan ukuran di bawah rata-rata, dia tidak mencari tahu kenapa, ya, bisa begini? ibunya beri makan apa? ekonominya bagaimana? itu tidak sampai ke sana dan hanya sekadar mendata. Itu yang kita sayangkan,” ujarnya.

Yuli merasa para kader juga belum bisa mensosialisasikan bahaya stunting pada masyarakat. Sehingga literasi soal stunting masih kurang mengena hingga masyarakat terbawah.

Dengan demikian, Yuli menyarankan selain mengadakan jemput bola, pemerintah melalui Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang di bawah langsung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bisa diterjunkan ke daerah-daerah yang belum punya kesadaran tinggi pada posyandu.

Meski pemerintah sudah banyak berinovasi dengan membangun rumah gizi atau rumah sehat seperti yang ada di daerah Karawang, hadirnya TPK bisa lebih memperkuat sosialisasi yang menyangkut stunting, pemeriksaan anak ke posyandu hingga asupan gizi yang baik dan sesuai takaran yang disarankan para ahli.

“Makanya TPK yang dibuat BKKBN disarankan untuk diturunkan ke daerah-daerah yang masyarakatnya belum punya kesadaran tinggi untuk ke posyandu. Jadi mereka bisa mendatangi masyarakat satu per satu. Itu yang saya dorong untuk pendamping BKKBN karena baru saya belum banyak ketemu di lapangan,” kata Yuli.*

Baca juga: KOPMAS: Cermati pengukuran tubuh anak dibanding kejar angka stunting

Baca juga: KOPMAS: Pengentasan stunting butuhkan kolaborasi banyak pihak


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023