Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut perubahan iklim menyebabkan terganggunya siklus hidrologi dan membuat krisis air kian menjadi ancaman serius bagi seluruh negara.

"Krisis air terjadi hampir di seluruh belahan dunia dan menjadi krisis global yang harus diantisipasi setiap negara. Tidak peduli itu negara maju atau berkembang.” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu.

Dwikorita menuturkan meningkatnya emisi gas rumah kaca akan berdampak pada meningkatnya laju kenaikan temperatur udara dan berdampak pada fenomena perubahan iklim.

Emisi gas rumah kaca yang tidak bisa dikendalikan memicu semakin cepatnya proses penguapan air permukaan, sehingga mengakibatkan ketersediaan air semakin cepat berkurang. Sebaliknya, akan terjadi hujan yang berlebihan di lokasi atau belahan bumi yang lain.

Baik air di permukaan maupun di tanah yang semakin berkurang, kemudian mempengaruhi ketersediaan air bersih di seluruh dunia. Ditambah perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan proses turunnya hujan menjadi ekstrem dan tidak merata.

Dwikorita menyoroti apabila krisis air dan kondisi iklim ekstrem terus berlanjut dikhawatirkan berdampak pada krisis pangan di dunia.

Baca juga: BMKG: Waspadai gelombang tinggi hingga 4 meter pada 18-19 Februari

Baca juga: Pengelola wisata diminta tingkatkan kewaspadaan puncak musim hujan


Ia mencontohkan di tahun 2022, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan kekeringan dan kelangkaan air sudah melanda Eropa, Amerika Utara Barat, Amerika Selatan Barat, Mediterania, Sahel, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Australia Tenggara.

"Tapi pada saat yang sama, banjir juga terjadi Easton Sahil, Pakistan, Indonesia, hingga Australia Timur. Jadi, sekali lagi kekeringan dan banjir adalah dampak yang sama akibat dari dari kencang-nya laju perubahan iklim yang diperparah dengan kerusakan lingkungan," tuturnya.

Menurutnya, perubahan iklim turut memicu munculnya kejadian-kejadian ekstrem terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, saat ini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas atau durasi yang semakin panjang.

Oleh karenanya, ia meminta semua negara untuk memitigasi dan mengurangi peningkatan dampak serius dari perubahan iklim tersebut. Salah satunya melalui World Water Forum 2024 yang akan digelar di Bali.

"Diharapkan mampu meningkatkan komitmen dan kerja sama pengelolaan air global secara berkelanjutan. Situasi bumi saat ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Kita perlu bekerja sama, berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama," ujarnya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023