Denpasar (ANTARA) - Sebagai negara demokrasi, Indonesia melaksanakan pemilihan umum setiap 5 tahun sekali, yang pada Pemilu 2024 bakal digelar pada 14 Februari.

Pesta demokrasi tersebut digelar untuk memilih berbagai jabatan politik secara langsung oleh warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk menjadi pemilih.

Berbagai jabatan politik itu meliputi presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil Bupati, wali kota dan wakil wali kota, anggota legislatif yang terdiri atas DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.

Sejarah mencatat bahwa Indonesia telah menggelar 11 kali pemilu, mulai kali pertama pada tahun 1955 hingga yang Pemilu 2019.

Kini, Pemilu 2024 sudah di depan mata. Rakyat Indonesia yang miliki hak pilih siap menentukan pilihannya dalal pemilu serentak tersebut.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara penyelenggara pemilu terus melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu 2024. Saat ini telah memasuki tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih.


Pro-kontra sistem

Anggota KPU RI Idham Holik dalam diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu meyakini bahwa penyelenggaraan tahapan-tahapan Pemilu 2024 sudah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau on the track.

"Kami menyakini tahapan ini on the track sehingga pada tanggal 14 Februari 2024, pemilih Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, akan menggunakan hak pilihnya, datang ke TPS. Kami sangat yakin itu," ujarnya.

Namun demikian, di tengah-tengah pelaksanaan tahapan pemilu yang dijalankan oleh KPU, sejumlah individu melakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang terdaftar dengan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. Intinya, mereka menggugat penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif pada Pemilu 2024.

Para pemohon prinsipal menyatakan pasal-pasal pada UU Pemilu yang mengatur tentang sistem proporsional terbuka itu bertentangan dengan UUD 1945 sehingga merugikan hak-hak mereka.

Mereka merasa dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, yang menyebabkan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan permasalahan multikompleks.

Masalah-masalah yang akhirnya muncul, menurut para pemohon, antara lain terciptanya model kompetisi tidak sehat antarcaleg dalam pemilu karena sistem tersebut mendorong sejumlah caleg melakukan kecurangan, termasuk memberikan uang kepada panitia penyelenggara pemilihan.

Menurut para pemohon, apabila pasal-pasal dalam UU Pemilu yang mengatur sistem proporsional terbuka tersebut dibatalkan oleh MK, nanti akan mengurangi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Judicial review ini langsung  mendapat respons beragam pihak,  baik yang pro maupun kontra.

Delapan fraksi di DPR RI menegaskan sikap menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu Serentak 2024.

"Delapan fraksi menyatakan lima sikap penolakan atas sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024," kata Ahmad Doli Kurnia mewakili Fraksi Partai Golkar, medio Januari lalu.


Pernyataan sikap itu disampaikan langsung oleh masing-masing wakil dari setiap fraksi. Kedelapan fraksi di parlemen memastikan bakal mengawal pertumbuhan demokrasi di Indonesia agar tetap maju. Delapan fraksi tersebut meminta MK konsisten dengan Keputusan MK Nomor 22-24/PPU-IV/2008 tanggal 23 Desember 2008.

Senada dengan delapan fraksi di DPR RI, Pimpinan Pusat Kolektif Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957 menyatakan sikap menolak sistem proporsional tertutup pada pelaksanaan Pemilu 2024.

"Sikap Kosgoro (terkait sistem pemilu) tetap proporsional terbuka. Karena, itu adalah hak rakyat untuk menentukan siapa yang masyarakat percayai untuk menjadi wakilnya," kata Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 Dave Laksono.

Menurutnya, upaya perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup sebagai langkah kemunduran demokrasi, yang dikhawatirkan ke depan berimbas pada perampasan hak-hak rakyat lainnya.

Sementara itu, pakar hukum dari Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (Pushan) Dr. Oce Madril berbeda berpendapat tentang hal tersebut. Menurut dia, sistem proporsional terbuka dalam pelaksanaan pemilu dapat memicu adanya politik uang.

"Dalam sistem proporsional terbuka, orientasi para caleg adalah meraih suara sebanyak-banyaknya sehingga  berbagai intrik dilakukan, termasuk melakukan politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi," tutur Oce Madril.

Pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menegaskan bahwa sistem pemilu proporsional tertutup tetap konstitusional.

"Mekanisme dan sistem pemilu dengan model closed list proportional atau sistem proporsional tertutup adalah tetap konstitusional," katanya.

Ia menilai pada hakikatnya wacana konstitusional berkaitan dengan pilihan-pilihan sistem atau model pemilu secara konseptual.

"Secara ideal, proporsional tertutup memiliki banyak keunggulan. Sistem ini mampu meminimalisasi politik uang karena biaya pemilu yang lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka," tambahnya.

Terkait polemik itu, Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menilai usulan perubahan kembali sistem pemilihan menjadi proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 adalah tidak logis, bahkan dapat membahayakan demokrasi.

Apalagi usulan penerapan sistem pemilihan proporsional tertutup juga baru digaungkan setahun sebelum pelaksanaan Pemilu 2024.

Di lain pihak, PDI Perjuangan menyatakan tetap teguh mendukung penerapan sistem proporsional tertutup meskipun pemerintah dan delapan partai politik lain berbeda sikap.

"PDI Perjuangan bukan pihak yang melakukan judicial review pada 14 Februari 2024 untuk memilih presiden, wakil rakyat, hingga kepala daerah  secara serentak karena kami tidak memiliki legal standing. Akan tetapi, sikap politik kebenaran, kami sampaikan bahwa dengan proporsional tertutup terbukti PDI Perjuangan mampu melahirkan banyak pemimpin yang berasal dari kalangan rakyat biasa," kata Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto.


Sikap pemerintah

Presiden RI Joko Widodo menegaskan dirinya tidak punya urusan soal sistem Pemilu 2024, apakah menggunakan proporsional terbuka atau proporsional tertutup.

Jokowi mengingatkan bahwa pilihan tersebut berada di wilayah para partai politik peserta pemilu.


Mantan Wali Kota Solo tersebut juga menepis rumor yang menyebut bahwa dirinya memberikan arahan untuk mendukung sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024.

Menurut Kepala Negara, kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.


"(Sistem) terbuka itu ada kelebihan, ada kelemahannya. Tertutup (juga) ada kelebihan, ada kelemahannya. Silakan pilih. Itu urusan partai," kata Presiden usai menghadiri peringatan Hari Lahir Ke-50 PPP di Tangerang

Di sisi lain, Jokowi menegaskan bahwa dirinya bukan ketua partai sehingga tidak punya kepentingan untuk memberi arahan sistem proporsional terbuka atau tertutup yang harus diterapkan pada Pemilu 2024.

"Nggak ada, nggak ada, nggak ada. Saya bukan ketua partai, kok," ujar Jokowi menegaskan.



Menunggu putusan MK

Anggota KPU RI Mochammad Afifuddin mengatakan pihaknya tidak berpihak pada sistem tertentu, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup dalam Pemilu 2024.

"Jadi, enggak ada kecondongan ke kanan kiri lah," ujar Afif, sapaan   Mochammad Afifuddin.

Ia menegaskan bahwa KPU akan tetap menjaga prinsip independensi dan netralitas, menjalankan penyelenggaraan pemilu dengan  menggunakan sistem yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi, sebagaimana nantinya putusan dari uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan sistem proporsional terbuka yang sedang berlangsung saat ini.

Apabila uji materi itu dikabulkan oleh MK, sistem Pemilu 2024 akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menekankan MK tidak mengatur sistem pemilu terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK hanya membatalkan atau meluruskan UU.

"Urusan proporsional terbuka atau tertutup itu urusan legislatif, bukan urusan MK karena MK tidak boleh mengatur, tapi boleh membatalkan atau meluruskan. Proporsional terbuka atau tertutup itu legislatif," katanya.

Mahfud menceritakan saat dirinya masih menjabat Ketua MK, dia tidak menetapkan sistem pemilu terbuka,  namun hanya mencoret persyaratan sistem terbuka, sementara penetapannya tetap di legislatif.

"Itu zaman saya, kalau MK punya pandangan lain, silakan saja," ujarnya.

PDI Perjuangan selaku satu-satunya partai politik yang tetap teguh mendukung sistem proporsional tertutup akan mematuhi putusan MK terkait uji materi sistem pemilu, baik proporsional tertutup atau terbuka.

"Adanya judicial review yang mengusulkan proporsional terutup, ya silahkan saja bagaimana MK memutuskan. Toh kemarin-kemarin juga proporsional terbuka, PDI Perjuangan juga mengikuti hal tersebut. Jadi, kami ikuti apa yang menjadi keputusan MK," kata Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani.

Terkait dengan sikap delapan partai politik yang menolak sistem proporsional tertutup, Puan menegaskan bahwa hal itu juga bukan berarti PDI Perjuangan tidak sepakat dengan sistem coblos nama caleg.

PDI Perjuangan, kata Puan, akan taat pada konstitusi dan mengikuti putusan MK.

Apa pun hasilnya nanti.







 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023