Jakarta (ANTARA) - Ketua majelis dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015 - 2016 menyebut kasus tersebut diadili oleh majelis hakim koneksitas atau hakim sipil dan militer.

"Jadi, sebelumnya, Pak Laksamana Muda Purnawirawan Agus Purwoto mungkin jadi pertanyaan bagi saudara, tapi mungkin sudah dijelaskan oleh penasihat hukumnya 'seharusnya saya disidangkan di pengadilan militer?', kalau ada pertanyaan seperti itu, ini perkaranya adalah perkara koneksitas berdasarkan Pasal 89 KUHAP dan seterusnya," kata ketua majelis hakim Fazhal Hendri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Terdapat empat terdakwa dalam perkara ini yaitu Agus Purwoto (Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan pada Kementerian Pertahanan/Kemenhan periode Agustus 2012 - September 2016), Arifin Wiguna (Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma/DNK) dan Surya Cipta Witoelar (Konsultan Teknologi PT Dini Nusa Kusuma/DNK sejak 2015 - 2016 dan Direktur Utama PT DNK periode 2016 - 2020).

Selain itu, ada satu orang terdakwa berkewarganegaraan Amerika Serikat yaitu Thomas Anthony Van Der Hyeden selaku Senior Advisor PT DNK.

"Kalau kerugiannya lebih besar di umum maka disidangkan di pengadilan umum, tetapi dengan majelis koneksitas, demikian juga dari oditur militer dan jaksa penuntut umum," tambah hakim Fazhal.

Di persidangan hadir Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung maupun oditur militer dan juga penasihat hukum yang berasal dari militer dan sipil.

"Begitu Pak, kalau ada pertanyaan seumpama seperti itu ya, kalau kerugian lebih besar di TNI, maka disidangkan di Pengadilan Militer, demikian ya," ungkap hakim Fazhal.

"Saya paham yang mulia," jawab Agus.

"Sudah paham, saya tidak perlu menjelaskan lebih lanjut," kata hakim Fazhal yang juga bertugas di pengadilan militer tersebut.

Keempat terdakwa dalam kasus tersebut diduga melakukan pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT kontrak sewa satelit Artemis dari Avanti dengan dalih bahwa dalam kondisi darurat untuk menyelamatkan Alokasi Spektrum pada slot orbit 123 derajat BT.

Namun, ternyata satelit Artemis yang telah disewa tidak berfungsi karena spesifikasi satelit tersebut tidak sama dengan satelit sebelumnya, yaitu Garuda-1.

Slot orbit 123 BT merupakan satu dari tujuh wilayah angkasa yang diberikan oleh International Telecommunication Union (ITU) kepada Indonesia. Slot orbit ini sempat dipakai untuk Satelit Garuda-1 yang masa operasinya berakhir pada 2015.

Satelit Garuda keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan. Aturan International Telecommunication Union (ITU) PBB menyatakan negara pengelola diberi tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tidak, slot itu bisa digunakan negara lain.

Kementerian Pertahanan menyewa Satelit Artemis, satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited. Padahal Kementerian Komunikasi belum menyetujui permintaan Kementerian Pertahanan.

Pada 2017, lewat Arbitrase di London, Avanti menggugat Indonesia karena dianggap wanprestasi akibat belum membayar sewa satelit L-band Artemis. Kontrak sewa Artemis dari Avanti senilai 30 juta dolar AS, tapi Kementerian Pertahanan baru membayar 13,2 juta dolar AS.

Arbitrase di London memutuskan Indonesia harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar dan pada 22 Mei 2021, Arbitrase Singapura memutuskan Indonesia harus membayar Rp 314 miliar kepada Navayo.

Kerugian negara yang diakibatkan dari pengadaan tersebut berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 tanggal 12 Agustus 2022 adalah Rp453.094.059.540,68.

Para terdakwa didakwa dengan pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023