Angka nasional beban emisi karbon dioksida sepeda motor adalah yang tertinggi dibandingkan moda transportasi jalan raya lainnya, yaitu 104,2 juta ton per tahun dengan komposisi sekitar 41 persen
Jakarta (ANTARA) - Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyambut baik adopsi sepeda motor listrik melalui insentif Rp7,8 triliun yang dilakukan oleh pemerintah bisa memitigasi 1,23 juta ton karbon dioksida (CO2) per tahun

Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan angka nasional beban emisi karbon dioksida sepeda motor adalah yang tertinggi dibandingkan moda transportasi jalan raya lainnya, yaitu 104,2 juta ton per tahun dengan komposisi sekitar 41 persen.

"Jabodetabek menyumbang 2,6 juta ton sekitar 18 persen atau tertinggi ketiga setelah truk dan bus. Subsidi motor listrik Rp7,8 triliun akan memitigasi emisi karbon dioksida hingga 1,23 juta ton per tahun," katanya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan selama ini warga yang sehari-hari beraktivitas di kawasan perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Yogyakarta bernafas dalam polutan. Kota-kota itu punya konsentrasi pencemaran udara tinggi.

Dicontohkannya di Jakarta, misalnya memiliki rata-rata tahunan konsentrasi parameter PM2.5 mencapai 46,1 mikrogram per meter kubik atau μg/m3, sementara standar nasional hanya 15 μg/m3.

Adapun rata-rata tahunan konsentrasi PM10, ozon, dan sulfur dioksida masing-masing mencapai 59,03 μg/m3, 83,3 μg/m3, dan 42,76 μg/m3 yang juga melampaui standar nasional, sehingga sering menyebabkan indeks kualitas udara di atas 100 yang mengindikasi tidak sehat.

Bahkan, indeks kualitas udara acapkali berada di atas 200 yang mengindikasi sangat tidak sehat. Indeks kualitas udara berkategori baik berada pada angka 50.

"Kajian menunjukkan bahwa transportasi merupakan sumber utama pencemaran udara di kawasan perkotaan," kata Safrudin.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa udara yang tercemar polusi itu berdampak terhadap kesehatan penduduk karena menyebabkan berbagai penyakit saluran pernafasan, kanker nasofaring, hingga jantung koroner.

Pada 2010, biaya pengobatan yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit-penyakit itu mencapai Rp38,5 triliun. Setelah berselang enam tahun, pada 2016, biaya pengobatan membengkak menjadi Rp51,2 triliun yang berdampak terhadap defisit BPJS Kesehatan yang baru surplus pada 2020/2021 dan diprediksi kembali akan defisit pada 2024.

Selain pencemaran udara, kata Safrudin, krisis iklim juga semakin terasa akibat emisi yang lepas ke atmosfer yang ditandai oleh fenomena La-Nina atau kebasahan ekstrem, sehingga turun hujan kelewat lebat dan terus menerus terjadi bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, hingga badai.

Atau sebaliknya terjadi fenomena El-Nino alias kekeringan ekstrem yang membuat temperatur atmosfer semakin memanas, terjadi kebakaran hutan, tanah puso, gelombang udara panas, dan berdampak pada masa pergantian musim yang mengganggu jadwal bercocok tanam, gagal panen, meluasnya area kawasan penyakit endemik seperti malaria.

Ia mengajak masyarakat untuk bersama-sama menurunkan kadar emisi dari setiap aktivitas mulai dari mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan kendaraan bermotor, berjalan kaki, bersepeda atau menggunakan angkatan umum masal.

"Kalau pun tak bisa meninggalkan kendaraan pribadi, kita bisa bergeser menggunakan kendaraan rendah emisi, yaitu mobil atau sepeda motor listrik," demikian Ahmad Safrudin.

Baca juga: IEA: Emisi CO2 global catat rekor tertinggi baru pada 2022

Baca juga: Transportasi massal solusi tekan emisi karbon

Baca juga: Emil Salim: Energi fosil tingkatkan produksi CO2 dan gas rumah kaca

Baca juga: Akademisi UI: Pepohonan sangat penting mengurangi emisi CO2


 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2023