Barcelona (ANTARA) - Potensi pelanggaran yang dilakukan paltform media sosial TikTok yang diajukan oleh anggota parlemen Amerika Serikat (AS) dengan alasan masalah keamanan nasional, dianggap bermuatan politik, demikian disampaikan seorang pakar Spanyol.

"Jelas ada kampanye politik terhadap TikTok karena itu adalah perusahaan China, itu tampak jelas bagi saya," kata Carme Ferre-Pavia, profesor studi komunikasi di Universitas Otonomos Barcelona (Autonomous University of Barcelona), kepada Xinhua dalam wawancara pada Jumat (10/3).

Ferre-Pavia mengatakan dia tidak melihat perbedaan karakteristik antara TikTok dan Facebook maupun WhatsApp.

"Yang saya lihat adalah ancaman kebocoran ada di mana-mana," jelas sang profesor.

Ferre-Pavia menunjukkan bahwa jika ada kekhawatiran kebocoran informasi rahasia dari perangkat resmi atau pemerintah, semua aplikasi media sosial mungkin harus dilarang dari pertemuan atau lingkungan tertentu, tanpa harus menuding TikTok secara tidak adil.
 
   TikTok menjadi salah satu aplikasi media sosial dengan pertumbuhan tercepat di dunia, terutama di kalangan anak muda.   Proyek serupa yang menelan biaya lebih dari 1,5 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.438) sedang berlangsung di Amerika Serikat (AS) karena ByteDance bertekad merestrukturisasi cara perusahaan tersebut melindungi data 100 juta pengguna AS dalam kemitraan dengan grup perangkat lunak cloud AS, Oracle. (XINHUA).



Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melarang aplikasi itu yang diluncurkan oleh para senator AS, yang mengatakan aplikasi tersebut menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional, pekan lalu didukung oleh Gedung Putih, yang memerintahkan agar TikTok dihapus dari perangkat yang telah diunduh oleh aparatur negara.

Bulan lalu, staf di Komisi Eropa diperintahkan untuk menghapus aplikasi TikTok dari ponsel dan perangkat mereka guna "melindungi data dan meningkatkan keamanan dunia siber". Otoritas pemerintah di Kanada segera menyusul.

TikTok merespons dengan mengumumkan langkah-langkah keamanan baru untuk melindungi informasi pengguna dalam sebuah rencana yang dikenal sebagai "Project Clover", di mana data pengguna akan disimpan di server di Eropa, sementara setiap transfer data di luar Eropa akan diperiksa oleh perusahaan teknologi informasi pihak ketiga.
 
   Proyek serupa yang menelan biaya lebih dari 1,5 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp15.438) sedang berlangsung di Amerika Serikat (AS) karena ByteDance bertekad merestrukturisasi cara perusahaan tersebut melindungi data 100 juta pengguna AS dalam kemitraan dengan grup perangkat lunak cloud AS, Oracle. (XINHUA).



"Saya tidak berpikir Eropa harus sejalan untuk menentang TikTok," ujar Ferre-Pavia.

"Para anggota parlemen Eropa yang melarang TikTok bagi saya tampaknya bukan respons yang tepat atau proporsional," tutup Ferre-Pavia. 

Penerjemah: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023