Depok (ANTARA) - Guru Besar Tetap dalam Ilmu Kewilayahan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Maman Lesmana, S.S., M.Hum, menyatakan perlu mendefinisikan kata budaya secara lebih sederhana.

"Definisi budaya yang beragam memunculkan kebingungan di berbagai aspek, seperti dalam kurikulum pembelajaran, kategorisasi rumpun ilmu, hingga kesesuaian gelar dengan keahlian lulusannya," kata Prof Maman Lesamana di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Kamis.

Menurut dia, gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) atau Magister Humaniora (M.Hum) misalnya, kurang tepat dilekatkan kepada lulusan dari FIB karena mereka bukan seorang ahli budaya, melainkan ahli dari salah satu unsur ilmu budaya, seperti sastra, bahasa, sejarah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kata dia, lulusan dari Departemen Sejarah lebih nyaman disebut sebagai Sarjana Ilmu Sejarah, alih-alih Sarjana atau Magister Humaniora.

Kebingungan dalam mendefinisikan kata budaya ini, lanjutnya, menyebabkan kegagalpahaman dalam menentukan siapa yang disebut budayawan.

Menurutnya, ada guru dan rekan sejawatnya di kampus yang sudah pakar betul dengan ilmu budaya, baik dari aspek teori maupun praktik, tetapi tidak ada yang memanggilnya budayawan. Di sisi lain, ada orang yang hanya menulis beberapa fiksi dan esai sastra, tampil di beberapa drama dan aktif di kegiatan pusat kebudayaan tertentu, sudah disebut sebagai budayawan.

Kebingungan tersebut akhirnya memicu Maman untuk mencari alternatif definisi yang lebih cocok dan mudah untuk dipahami. Etimologi kata budaya yang berasal dari kata budi dan daya dijadikan alternatif untuk definisi sederhana dari kata tersebut.

Baca juga: Guru Besar FIB UI sebut sastra dapat menjadi media diplomasi andal

"Ketika masih kecil, saya pernah mendengar bahwa kata budaya, secara etimologi berasal dari gabungan dua kata, yaitu budi dan daya. Saya tidak tahu itu sumbernya dari mana, tetapi saya percaya bahwa kata itu benar adanya, dan dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pemahaman tentang definisi dari budaya," ujarnya.

Maman menemukan adanya unsur semiotika (tanda) pada kedua kata tersebut. Kata budi yang mendahului kata daya menunjukkan posisi kata budi yang lebih penting daripada kata daya.

Hal ini sesuai dengan ajaran dalam Agama Islam, yaitu laa hawla wa laa quwwata illa billahi (tidak ada daya dan upaya, kecuali atas bantuan Allah). Kalimat ini menunjukkan bahwa unsur religi lebih penting daripada unsur daya.

Manusia memiliki kesamaan budi dan dengan itulah orang berpekerti atau sama dengan bertindak baik. Budi pekerti adalah moralitas yang mengandung pengertian, yaitu adat istiadat, sopan santun, dan perilaku yang membantu orang dapat hidup baik. Dengan menggunakan definisi budaya tersebut, diperoleh makna dari budayawan, yaitu orang yang berbudaya atau orang yang mendahulukan budi daripada daya. 

"Jadi kalau kita ingin disebut sebagai seorang budayawan, kita harus mendahulukan budi terlebih dahulu, yang dalam agama saya disebut dengan akhlaq al-karimah, dan barulah daya-nya yaitu penguasaan tentang salah satu unsur, beberapa, atau semua unsur dari keenam unsur budaya lainnya, baik secara akademis maupun non-akademis,” ujar Maman.

Baca juga: Dekan Fasilkom UI: Perlu sentuhan budaya pada teknologi
 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023