"Tegas dalam artian melakukan pelacakan aset supaya preseden membangkrutkan negara melalui mekanisme utang piutang antara debitur dan kreditur melalui mekanisme perbankan tidak berulang," kata Misbakhun dalam diskusi di Media Center DPR RI, Jakarta,
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah melakukan pelacakan aset atau asset tracing untuk mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan Bank Indonesia kepada bank umum pada saat krisis moneter tahun 1998 senilai Rp144 triliun.

"Tegas dalam artian melakukan pelacakan aset supaya preseden membangkrutkan negara melalui mekanisme utang piutang antara debitur dan kreditur melalui mekanisme perbankan tidak berulang," kata Misbakhun dalam diskusi di Media Center DPR RI, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pemerintah harus melakukan asset tracing dengan melacak aset jaminan utang maupun aset lain yang masih dimiliki oleh debitur BLBI. Hal itu menurut Misbakhun untuk memastikan aset yang dikuasai tidak kembali ke pemilik lama dengan berbagai skema yang ada.

Ketentuan tersebut diatur dalam Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) terdiri dari 3 skema yaitu Master Settlement And Acquitition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan Akta Pengakuan Utang (APU).

"Dalam MSAA dan MRNIA itu tidak dibolehkan segala cara untuk mengembalikan aset kepada pemiliknya," katanya.

Misbakhun mengungkapkan bahwa banyak kejadian yang berulangkali terjadi yaitu aset sitaan kembali lagi ke pemilik lama. Dia mencontohkan pabrik tekstil besar di Solo yang menjadi "pasien" dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Pabrik tekstil itu dibeli oleh seorang notaris yang apabila ditelusuri profilnya sangat tidak memungkinkan untuk menjadi pemilik pabrik. Sebab, notaris itu menjadi sarana bagi pemilik lama untuk membeli kembali asetnya.

"Pabrik tekstil menghadapi situasi yang sama ketika dikelola generasi berikutnya mau melakukan upaya yang sama lagi, tapi sekarang skemanya tidak melalui BPPN melainkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)," tambah dia.

Selain itu menurut Misbakhun, ada penguasaan yang bersifat fisik tetapi negara tidak menguasai dokumen jaminannya. Untuk itu, ia mendorong Satgas BLBI menyiapkan profil dari aset-aset itu.

"Kalau dimiliki orang baru dijalankan dengan aktivitas yang benar, produktif menciptakan lapangan pekerjaan, aset itu dilepas dengan produktif oleh negara. Aset yang sebelumnya produktif tetap harus produktif, tetap menyerap tenaga kerja, membayar pajak ke negara dan memberi kontribusi terhadap ekonomi," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan yang juga Ketua Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rionald Silaban menyebut telah memperoleh total nilai pengembalian dana sebesar Rp28,53 triliun hingga 25 Maret 2023. Nilai itu terdiri dari uang dan aset yang disita dan dikuasai negara, tapi nilai terbesar dari pengembalian dana diperoleh dari aset sitaan atau jaminan barang.

"Dalam bentuk sita barang jaminan dan harta kekayaan lainnya sebesar Rp13,7 triliun, ini adalah angka perkiraan estimasi," ujar Rionald Silaban saat melakukan rapat kerja bersama Komisi XI DPR, di Jakarta, Selasa.

Selain dalam bentuk sita barang, nilai pengembalian dana BLBI itu juga diperoleh satgas dalam bentuk uang yang kemudian masuk ke dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp1,05 triliun. Kemudian dalam bentuk penguasaan aset properti senilai Rp8,54 triliun, dalam bentuk penetapan status penggunaan (PSP) dan hibah kepada kementerian/lembaga atau pemerintah daerah senilai Rp2,70 triliun, dan penyertaan modal negara (PMN) non tunai senilai Rp2,49 triliun.

Baca juga: Satgas BLBI sebut dana pengembalian senilai Rp28,53 triliun
Baca juga: Satgas BLBI sita aset debitur PT Pancasindhu Abadi Rp74,3 miliar

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2023