Kami mendesak para pemimpin Israel mempertimbangkan ulang keputusan sepihak ini dan mengendalikan diri karena langkah-langkah ini kontraproduktif dan semakin mempersulit pembukaan kembali negosiasi langsung."
Washington (ANTARA News) - Amerika Serikat hari Senin mendesak Israel "mempertimbangkan ulang" keputusannya membangun 3.000 rumah baru bagi pemukim Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang diduduki.

"Kami mendesak para pemimpin Israel mempertimbangkan ulang keputusan sepihak ini dan mengendalikan diri karena langkah-langkah ini kontraproduktif dan semakin mempersulit pembukaan kembali negosiasi langsung," kata juru bicara Gedung Putih Jay Carney, lapor AFP.

Pernyataannya itu disampaikan ketika tekanan internasional meningkat terhadap Israel setelah pekan lalu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memutuskan membangun permukiman baru itu.

Pengumuman Israel untuk membangun 3.000 rumah baru pemukim di Yerusalem Timur dan Tepi Barat disampaikan setelah Palestina memperoleh pengakuan sebagai negara non-anggota di PBB.

Kawasan yang direncanakan dibangun untuk permukiman baru mencakup E1, sebuah daerah sebelah timur Yerusalem dimana permukiman-permukiman Yahudi akan secara efektif membelah Tepi Barat, yang membuat rumit pembentukan negara Palestina.

Kementerian Luar Negeri AS memperingatkan dalam sebuah pernyataan sebelumnya, daerah E1 merupakan "masalah sangat sensitif dan pembangunan di sana akan merusak upaya-upaya untuk mencapai penyelesaian dua negara".

Peringatan serupa juga disampaikan oleh Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon pada Minggu (2/12), yang mengatakan bahwa rencana pembangunan permukiman baru Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat akan menjadi "pukulan hampir fatal" bagi prospek perdamaian dengan Palestina.

"Permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, dan jika permukiman E1 dibangun, maka itu akan menjadi pukulan hampir fatal bagi sisa peluang untuk mencapai penyelesaian dua negara," kata kantor Ban dalam sebuah pernyataan.

Israel sebelumnya telah berjanji membekukan proyek E1 sebagai bagian dari komitmennya sesuai dengan peta jalan internasional bagi perdamaian yang diluncurkan pada 2003.

Palestina menentang keras proyek itu karena sama saja dengan membelah Tepi Barat menjadi dua bagian, yang membuat rumit pembentukan negara Palestina.

Dalam pemungutan suara pada Kamis (29/11) di New York, Mejelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi yang mengakui Palestina dalam perbatasan 1967 sebagai sebuah negara pengamat non-anggota di badan dunia tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memperingatkan bahwa dengan melangkah ke PBB, Palestina "melanggar" perjanjian-perjanjian terdahulu dengan Israel, seperti Perjanjian Oslo 1993, dan negaranya akan mengambil tindakan yang sesuai.

Perundingan perdamaian terhenti sejak September 2010, dan Palestina mendesak penghentian pembangunan permukiman sebelum kembali ke meja perundingan, sementara Israel menekankan akan melanjutkan perundingan tanpa syarat.

Israel telah lama khawatir bahwa jika Palestina memperoleh status negara non-anggota di PBB, maka mereka akan memburu negara Yahudi itu untuk kasus-kasus kejahatan perang di Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), khususnya menyangkut permukiman.

Dengan status baru itu, Palestina kini memiliki akses ke sejumlah besar badan PBB, seperti ICC, namun Presiden Palestina Mahmud Abbas menekankan bahwa ia belum berencana mengajukan permohonan ke pengadilan itu. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012