Jakarta (ANTARA) - Noken atau minya merupakan tas tradisional hasil anyaman di masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala. Tas itu terbuat dari serat kulit kayu, seperti pohon Manduam, pohon Nawa atau Anggrek hutan.

Dalam proses pemilihan pemimpin, istilah noken adalah suatu sistem yang digunakan pada pemilihan umum (pemilu) khusus di Provinsi Papua. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan noken sebagai bagian penting dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Papua, terutama untuk masyarakat yang berasal dari daerah pegunungan.

Pemilu dengan sistem noken telah dilaksanakan di Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Penggunaan sistem noken terus berlanjut pada saat pemilu pertama kalinya di pulau itu.

Ada dua pola yang dipakai dalam pelaksanaan sistem noken, yakni noken big man dan noken gantung. Noken big man mengisyaratkan pilihan suara seluruh anggota suku diwakilkan kepada kepala suku masing-masing, sedangkan noken gantung membuat noken berfungsi sebagai pengganti kotak suara.

pada tahun 2009, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 telah mengakomodir hasil pemilu yang menggunakan sistem ini. MK menilai sistem noken telah menjadi nilai dan budaya yang hidup di Papua, sehingga harus dihargai dan dilindungi.

Sosiolog dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Ave Lefaan menjelaskan sistem noken adalah kebijakan dari Pemerintah untuk menghormati budaya Papua, terutama budaya pedalaman. Selain itu, penggunaan noken juga dapat menghemat anggaran.

Kendati demikian, dikeluarkannya putusan ini telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sistem noken merupakan budaya yang telah lama hidup pada masyarakat Papua, tetapi di sisi lain sistem ini telah menghilangkan hak pilih individu secara langsung dan berbenturan dengan asas-asas pemilu di Indonesia, seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Sistem noken yang banyak digunakan di daerah pegunungan ini tidak menerapkan asas "satu orang satu suara". Sistem noken ini dipakai untuk menampung suara yang seolah-olah menggantikan kotak suara.

Sejatinya, penggunaan noken mengartikan bahwa unsur-unsur adat dihormati dan masyarakat taat untuk mengikuti pemilu. Namun, kini terjadi pergeseran konteks yang semula nilai budaya menjadi berbau politik.

Ave melihat pergeseran ke arah politik ini mempersoalkan untung dan rugi, sementara budaya tidak melihat seperti itu. Budaya mendudukkan noken untuk menghormati seluruh kehidupan manusia yang ada di Bumi Cenderawasih.

Sebab, noken memiliki nilai filosofi kemanusiaan yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, cara-cara pemilihan berdasarkan noken dan cara-cara pemilihan berdasarkan kotak suara itu mempunyai sistem yang berbeda.

Apabila seorang kepala suku sudah menyetujui satu calon tertentu untuk dipilih, maka akan disampaikan kepada masyarakatnya agar memilih nama tertentu. Jadi, istilahnya semua orang sudah setuju baru dimasukkan surat suara itu ke dalam noken.

"Nah, di situlah sistem noken yang salah. Noken itu hanya menggantikan kotak suara, tapi sistemnya masih menggunakan sistem noken menurut tradisional adat istiadat," ujar Ave kepada ANTARA.

Di sisi lain, ia mengkhawatirkan adanya kepentingan tertentu yang diselipkan melalui keterwakilan seseorang. Sehingga, ia sempat berpikir agar sistem noken tidak perlu digunakan lagi.

Untuk menjembatani hal ini Pemerintah dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat menjadi pintar dalam menentukan seorang pemimpin yang baik. Hal ini juga untuk membina masyarakat memiliki pemikiran yang kritis.

Masyarakat kritis hanya sekadar memilih seseorang dengan latar belakang yang sama, namun memiliki karakteristik kepemimpinan yang baik, berwibawa hingga bertanggung jawab.

Noken bisa dipakai untuk menghemat biaya atau efisiensi, tidak usah mendatangkan kotak suara dari Jakarta. Hanya saja sistem pemilihan noken dalam konteks kepala suku tidak bisa dipakai untuk sistem pemilihan demokrasi secara nasional.
 

Noken eksis

Sampai saat ini ada beberapa alasan masih dilangsungkannya pemilu dengan sistem noken. Pertama, faktor geografis akibat jarak tempuh untuk mendistribusikan logistik pemilu dan tingkat kesulitan medan di daerah pedalaman Papua dinilai sangat rumit untuk diakses secara cepat.

Kemudian, topografi daerah dengan mayoritas bergunung terjal dan berjurang dan terbatasnya akses transportasi, hanya dapat menggunakan pesawat berbadan kecil atau pesawat misionaris, sehingga akan berdampak pada inskonsitensi agenda pemilu nasional, terutama bagi penyelenggara saat itu.

Kedua, sumber daya manusia (SDM), yakni mempertimbangkan bahwa sebagian masyarakat di wilayah pergunungan belum tersentuh pendidikan, masyarakat di kampung-kampung masih hidup secara komunal dan tradisional, belum memahami pemilu secara valid tentang maksud dan tujuan serta manfaat sehingga mereka perlu dituntun dan diarahkan melalui sebuah proses musyawarah bersama untuk mengambil keputusan dalam memilih.

Ketiga, sosial budaya yang menjadi acuan paten adanya pemilu noken di Papua. Secara sosial budaya, masyarakat di pedalaman Papua menganut sistem politik tradisional yang dikenal dengan big man (orang besar).

Setiap keputusan dalam komunitas dilaksanakan secara kolektif kolegial, misalnya ketika suatu hal yang hendak dilaksanakan, baik dalam kehidupan dan berkaitan dengan hubungan sosial, masyarakat akan berkumpul dan bermusyawarah kemudian setiap ide dan gagasan dalam musyawarah tersebut dapat diakumulasi menjadi keputusan mutlak dan dinyatakan secara resmi oleh kepala suku (big man) mereka.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023