...predikat wakil rakyat hanya digunakan untuk alat kekuasaan mendapat segudang harta...."
Drama korupsi para oknum legislator di Riau dan pailitnya moral partai politik dalam memberikan sanksi tegas terhadap kadernya yang jelas-jelas tersangkut kasus kronis, layaknya menjadi referensi para sutradara untuk membuat film tentang fenomena itu.

Seperti halnya film "Rumah Perkara" yang disutradarai oleh Emil Heradi berkisah tentang janji serapah oknum kepala desa dalam melindungi dan menjaga keamanan desanya. Meski mengucap janji atas dan demi nama Allah, faktanya pada film ini si kepala desa ternyata tega mengusir warganya demi pembangunan sebuah pabrik dan perumahan elite demi meraup keuntungan pribadi.

Hemmm... kedurhakaan yang membahana, membuat murka Sang Pencipta. Si kepala desa beserta keluarganya mendapat bala penzaliman yang setimpal hingga mendatangkan kegelisahan yang luar biasa. Film ini menjadi gambaran tragis bagi koruptor di negeri ini.

Sama halnya dengan "Rumah Perkara", drama faktual atas kasus korupsi juga melanda kalangan legislator di Provinsi Riau. Tidak tangung-tangung, jika aktor dalam film yang disutradarai Emil Heradi hanya dibintangi satu pemeran utama, pada drama korupsi sang legislator Riau justru dibintangi banyak wajah.

Bahkan, hampir seluruh fraksi di Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau terlibat dalam kasus korupsi suap Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII 2012 yang kini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fraksi-fraksi yang terlibat dalam kasus korupsi ini adalah Fraksi PAN, Golkar, PPP, PDIP, Fraksi Gabungan dari PKB, dan Fraksi Partai Demokrat.

Hanya fraksi PKS yang menjadi satu-satunya fraksi di DPRD Riau dimana anggotanya belum dinyatakan KPK terlibat dalam kasus suap PON. Sementara fraksi lainnya terbukti terlibat, bahkan ada fraksi yang sampai tiga anggotanya ditetapkan sebagai tersangka.

Untuk kasus dugaan suap PON Riau, ada sebanyak sepuluh wakil rakyat yang berstatus tersangka. Meliputi Wakil Ketua Taufan Andoso Yakin dan Adrian Ali (FPAN), Faizal Aswan, Abu Bakar Siddik dan Zulfan Heri (FPG), Syarif Hidayat dan Roem Zein (FPPP), Toerechan Asyari (FPDI-P), M Dunir (F Gabungan dari PKB) dan Tengku Muhazza (FPD). Dari keseluruhan, tiga yang sudah ditahan KPK, yakni Faizal Aswan, M Dunir dan Taufan Andoso Yakin.


Masih Aktif

Kendati telah berstatus stersangka bahkan terdakwa dan terpidana kasus korupsi, kesepuluh legislator itu masih saja menjabat sebagai wakil rakyat di Lembaga DPRD Riau.

Prosesi pergantian untuk para tersangka ini menurut pengamat politik sangat rumit dan tidak ada ketegasan yang nyata. Tetap saja, uang rakyat masih dinikmati oleh komplotan para penjahat ini meski sudah ketahuan "belangnya".

Mungkinkah ini suatu petanda pailitnya moral di kalangan legislator dan oknum politikus parpol? Pemerhati politik dari Universitas Riau Tyas Tinov MSi tidak menampik. "Krisis moral kini tengah melanda kalangan legislator. Perjuangan hanya untuk menduduki kursi dan jabatan sebagai wakil rakyat. Setelah tercapai, predikat wakil rakyat hanya digunakan untuk alat kekuasaan mendapat segudang harta. Diasetkan secara perorangan atau untuk kepentingan partai politik." Tragis...

Kealotan untuk "memecat" para legislator yang tersandung kasus korupsi terlihat begitu nyata. Semisal dua anggota DPRD Riau yang tersandung kasus korupsi suap PON yakni Faisal Aswan dari fraksi Golkar dan M Dunir dari fraksi PKB. Keduanya memang sudah diajukan untuk dilakukan Pengganti Antar Waktu (PAW) setelah divonis pidana 4 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru beberapa bulan lalu.

Namun inilah tanggapan Ketua DPRD Riau terkait rencana "pemecatan" keduanya ; "Proses PAW-nya sudah kami terima. Nanti penggantinya tentunya menjadi kewenangan KPUD Riau," kata Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus, Minggu (13/1).

Selain dua yang telah menjalani vonis pengadilan, saat ini tersisa tujuh anggota DPRD Riau yang masih berstatus tersangka dalam kasus suap PON. Sedangkan Wakil Ketua DPRD Riau, dari Fraksi PAN, Taufan Andoso statusnya sebagai terdakwa.

"Yang diproses untuk diganti baru dua orang. Sedangkan yang lainnya, tentunya masih menunggu vonis. Karena PWA itu menjadi kewenangan partainya masing-masing," kata Johar.

Dua anggota dewan yang akan segera lengser itu, digembar-gemborkan sebagai pentolan yang menerima suap revisi Perda PON dari pihak perusahaan yang membangun arena Stadion Utama senilai lebih dari Rp900 miliar.

M Dunir misalnya, merupakan Ketua Pansus revisi Perda PON. Sedangkan Faisal orang yang menerima titipan uang senilai Rp900 juta dari pihak kontraktor yang diduga sebagai uang jasa (uang lelah) dalam penuntasan revisi perda yang dominan adalah untuk penambahan anggara pada PON lalu. Dana sebanyak itu bahkan merupakan dana awal untuk satu revisi perda.

Perda yang akan direvisi ada dua, yakni Perda No 6 dan Perda No 5. Bila revisi perda pertama lolos, pihak perusahaan atas perintah Pemprov Riau melalui Kadispora, Lukman Abbas waktu itu, akan memberikan kembali Rp900 juta dengan total Rp1,8 miliar.

Saat pemberian uang suap itu, KPK langsung menangkap basah Faisal yang menerima uang di rumahnya, pada kawasan Simpang Tiga, Pekanbaru. Kasus suap PON ini tidak hanya menyeret DPRD Riau saja namun meluas sampai ke Senayan.

Anggota DPR dari Fraksi Golkar seperti Kahar Muzakir, Setya Novanto pun menjadi saksi di persidangan. Termasuk Gubernur Riau, Rusli Zainal yang diindikasi mengetahui dan menyetujui adanya "uang lelah" pada drama korupsi legislator episode pertama ini. (FZR)

Oleh Fazar Muhardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013