Samarinda, (ANTARA News)- Berdasarkan pemantauan satelit National Oceanic and Atmosferic Administration (NOAA) berhasil mendeteksi di Kalimantan Timur yang diperkirakan sudah memasuki memasuki kemarau Juni 2006 terdapat sejumlah titik panas (hot spot) yang mengancam jutaan hektare hutan di provinsi terluas nasional itu. "Satelit NOAA mendeteksi beberapa hot spot pada Juni 2006 di enam kabupaten/kota dan kemungkinan titik api tersebut akan bertambah jika terjadi kemarau panjang," kata Kepala Seksi Monitoring dan Evaluasi UPTD (Unit Pelaksanan Tugas Daerah) Pengedalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kaltim, Ir. Normansyah di Samarinda, Rabu (7/6). "Kita mendapatkan data satelit NOAA dalam dua kali satu hari yang difokuskan pada wilayah Kalimantan," katanya. Data satelit NOAA menyebutkan bahwa pada minggu pertama juni 2006 terdapat tujuh titik api di enam kabupaten/kota di antaranya di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar)terdapat satu titik api. Kemudian hot spot terpantau di Kota Bontang terdapat dua titik, di Kabupaten Kutai Barat (Kubar) terdapat satu titik, di Kota Tarakan terdapat satu titik, di Kabupaten Panajam Paser Utara (PPU) terdapat satu titik dan di Kabupaten Kutai Timur (Kutim) terdapat satu titik. "Biasanya pada musim kemarau panjang jumlah titik api akan terus bertambah dan perlu dilakukan langkah antisipasi agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan dengan melakukan koordinasi dengan sejumlah pemerintah kabupaten kota," kata Normansyah. Ia menjelaskan bahwa hot spot bukan berarti kawasan itu sedang terbakar namun indek panas atau kekeringan cukup rawan menyebabkan terjadi bencana kebakaran hutan/lahan. "Indeks kekeringan begitu tinggi menyebabkan gesekan ranting atau orang membuang puntung rokok sembarangan bisa menjadi pemetik api yang menjalar menjadi bencana kebakaran hutan hebat," katanya. Menurutnya bahwa berdasarkan data pada Oktober 2005 jumlah titik api di sejumlah kabupaten kota di Kaltim dapat mencapai ratusan dan yang paling terbanyak di Kabupaten Nunukan mencapai 673 titik api, sehingga akibat tingkat kekeringan begitu tinggi beberapa kawasan hutan di daerah itu sempat terbakar. Saat terjadi fenomena alam el nino pada kemarau 1998, terdapat ratusan hot spot di Kaltim yang kemudian diikuti oleh bencana kebakaran hebat yang secara nasional diperkirakan mencapai 5,2 juta hektare (sebagian besar di Kaltim) sehingga tercatat menjadi bencana kebakaran hutan terluas di dunia. Bencana kebakaran itu tidak saja merugikan secara ekonomis akibat kerusakan hutan dan terhambat jalur transportasi sungai, laut darat dan udara namun dari sisi lingkungan juga berdampak luas, terbukti indeks serangga yang menjadi makanan burung --media penyebar benih tanaman-- turun drastis di kawasan konservasi Taman Nasional Kutai dan Bukit Soeharto. Normansyah mengemukakan bahwa ada dua satelit NOAA yang memberikan laporan dalam sehari yaitu NOAA-12 dan NOAA 16, setelit NOAA memiliki cakupan area permukaan bumi sebesar 2.700 Km yang berada pada ketinggian kurang lebih 860 km dan memiliki resolusi medan 1,1 Km (ukuran pixel). Selain mendeteksi titik kebakaran juga memberikan data perkiraan koordinat dari daerah titik kebakaran dengan radius 0,5 km. "Salah satu kelemahan dari satelit NOAA adalah setelit tidak dapat menembus awan dan asap, tidak dapat membedakan tingkat kerusakan vegetasi, jumlah dan luas lahan yang terbakar," katanya. Sehingga, katanya, untuk mengetahui tingkat kerusakan akibat bencana kebakaran biasanya melalui foto udara atau manual langsung memantau kondisi lapangan. Pemanfaatan satelit NOAA dan berbagai program penanganan kebakaran hutan/lahan adalah hasil kerjasama IFFM (Integrated Fire Forest Management) GTZ (Jerman) dengan Dinas Kehutanan Kaltim.(*)

Copyright © ANTARA 2006