Yogyakarta (ANTARA) - Gugus Tugas Papua (GTP) Universitas Gadjah Mada menekankan pentingnya refleksi ulang terhadap metode pendekatan yang selama ini ditempuh untuk mewujudkan perdamaian di Papua.

Sekretaris GTP UGM Dr Arie Ruhyanto dalam keterangan tertulis Humas UGM di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan refleksi penting dilakukan mengingat selama ini telah muncul banyak korban, baik dari aparat keamanan maupun warga sipil di Bumi Cenderawasih.

"Konflik yang terjadi di Papua bukan semata-mata persoalan vertikal seperti separatisme dan isu kemerdekaan, namun juga isu horizontal seperti segregasi antarkelompok masyarakat dan kekerasan berbasis identitas antara orang asli Papua dan pendatang," kata dia.

Dalam Papua Strategic Policy Forum ke-14, Rabu (10/5), Arie mengatakan proses pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua yang semakin intensif juga diikuti dengan meningkatnya konflik dan tindakan kekerasan.

Sekretaris DPKK Sinode GKI di Tanah Papua, Pendeta Leonora Dora Balubun yang sudah puluhan tahun melayani umat di Tanah Papua, menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan untuk menghindari terjadinya konflik.

Ia menyebut bahwa negara juga perlu melibatkan gereja yang sudah dengan sangat baik menjadi garda terdepan merawat perdamaian di Papua dalam proses pengambilan kebijakan, tanpa perlu menunggu eskalasi meningkat.

"Suara gereja sangat didengar oleh masyarakat sehingga kunci perdamaian adalah kalau pemerintah bersama gereja dan tokoh muslim Papua dapat bekerja bersama. Gereja merupakan mitra yang sejajar dengan pemerintah," kata dia.

Ketua Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Provinsi Papua Barat Daya Lexie Durimalang memberikan perspektifnya sebagai masyarakat pendatang.

Menurutnya, membangun keharmonisan adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap pendatang di tanah Papua agar tercipta persaudaraan yang rukun.

"Pendekatan paling baik untuk perdamaian adalah melalui tokoh masyarakat dan agama," kata Lexie.

Sejumlah upaya yang telah dilakukan kelompok masyarakat pendatang, kata dia, adalah pelibatan masyarakat lokal pada kegiatan yang diselenggarakan oleh warga pendatang dan penghargaan terhadap tradisi masyarakat lokal sehingga kolaborasi dapat tercipta.

Sementara itu, Dr. Laksmi Adriani Savitri, antropolog UGM sekaligus penulis buku "Menegarakan Tanah dan Darah Papua" memaparkan bahwa permasalahan utama yang terjadi di Papua adalah kekerasan struktural dan budaya kolonial.

Proses akulturasi masyarakat pendatang dengan orang asli Papua, menurutnya, berjalan dengan lancar, bahkan proses ini sudah dimulai sejak tahun 1900-an awal ditandai dengan adanya akulturasi budaya pertanian dari Jawa.

"Itu bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi merasa dihargai karena merasa sederajat menuju modernitas. Ini proses ambivalensi dan mimikri," ujar dia.

Ia melanjutkan, perdamaian di akar rumput Papua bisa dimulai dengan mengikis pelabelan dan kecurigaan.

Transformasi sosial di Papua, kata Laksmi, harus dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan yang mendekatkan.

Baca juga: BNPT kukuhkan 50 anak muda Papua jadi Duta Damai Dunia Maya

Baca juga: Bamsoet: Negara harus tegas hentikan teror KKB di Papua

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023