PBB (ANTARA News) - Bentrok pertama pasukan Prancis dengan kaum militan bersenjata di Mali telah memperlihatkan bahwa para penempur gurun pasir ternyata lebih terlatih dan berperlengkapan lebih baik dibandingkan yang dikira Prancis sebelum intervensi militer ke negeri ini pekan lalu.

Pengakuan ini disampaikan sendiri oleh para diplomat Prancis dan PBB di New York.

Kenyataan bahwa pertempuran ternyata lebih berdarah-darah dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya, malah membuat negara-negara Barat enggan bersisian dengan Prancis.

Namun para pejabat pemerintahan Prancis berharap mereka bisa menggalang dukungan dari sekutu-sekutunya untuk berada di belakang Prancis di Mali.

"Risiko akibat kesalahan di Mali akan ditanggung semua pihak, bukan hanya rakyat Mali," kata seorang diplomat Afrika seperti dikutip Reuters.

Sebagaimana para diplomat umumnya, si diplomat Afrika ini enggan mengungkapkan jati dirinya karena sensitifnya akibat militer dan diplomatik dari pernyataannya.

Penculikan puluhan sandera di negara tetangga Mali, Aljazair, di mana pasukan Aljazair melancarkan operasi militer untuk menyelamatkan sandera dari kelompok radikal Islam garis keras di sebuah ladang minyak di gurun pasir, juga membangkitkan kekhawatiran bahwa kekerasan kaum yang disebut Barat Islamis ini akan berefek bola salju ke perbatasan-perbatasan Mali.

Para diplomat angkat bicara setelah pasukan Prancis untuk pertama kalinya baku tembak langsung dengan para penempur gurun pasir dalam beberapa hari terakhir ini.

Perang di darat adalah kelanjutan dari pengepungan pasukan Prancis terhadap kota Diabaly sehingga memerangkap pasukan pemberontak yang tiga hari sebelumnya menguasai kota ini.

Ternyata tangguh

"Musuh kami ternyata bersenjata lengkap, berperalatan tempur lengkap, sangat terlatih, dan tangguh," kata seorang diplomat Prancis. "Kejutan yang pertama adalah beberapa dari pemberontak ini pantang menyerah."

Pasukan pemberontak lain melarikan diri akibat serangan udara Prancis selama enam hari yang ditujukan untuk menghambat ofensif pemberontak dan mencegah jatuhnya ibukota Mali, Bamako, ke tangan pemberontak.

Reuters menulis, pasukan gabungan Prancis, Mali dan Afrika menghadapi koalisi pasukan kubu islamis yang di dalamnya termasuk sayap Afrika Alqeda (AQIM) dan kelompok militan Ansar Dine dan MUJWA.

Pemberontak suku Tuareg, kaum islamis dan aktivis jihad non Mali bersatu mengadapi ancaman intervensi militer asing yang diserukan sendiri oleh Dewan Keamanan PBB bulan lalu.

Sebagian dari kelompok militan ini diyakini telah dilatih dan dipersenjatai oleh pemerintahan mendiang pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang tersingkir dan dibunuh pemberontak Libya pada perang saudara 2011.

Sejumlah diplomat menyatakan jelas sudah Prancis telah meremehkan  pemberontak.  Dan klaim ini sama sekali tidak dibantah pemerintah Prancis.

"Saya kira, pasukan pemberontak jauh lebih terlatih dibandingkan yang sebelumnya dikira Prancis dan mereka juga berjuang lebih gigih daripada yang dikira," kata seorang diplomat senior Barat.

Diplomat lain mencatat, 2.000 tentara yang dijanjikan pemerintah Chad yang terkenal ahli bertempur di gurun pasir, belum bergabung dalam pasukan koalisi. Pasukan ini dinantikan kebolehan bertempurnya.

Para diplomat mengatakan bahwa taksiran perang yang kelewat optimistis memang dapat dimengerti, mengingat informasi intelijen yang akurat dan tepat kerap sulit didapat.

Pasukan Afrika

Diplomat senior Barat tadi mengatakan kekurangan intelijen itu tidak berarti pasukan Prancis kewalahan, sebaliknya capaian perdana pasukan Prancis telah sukses menghambat laju ofensif pemberontak.

"Mereka merasa harus mengambil keputusan untuk jangka pendek," kata dia.

"Namun pastinya pada situasi-situasi seperti ini Anda tak tahu persis hasil apa yang bisa dicapai atau konsekuensi-konsekuensi bagaimana yang akan terjadi atau apa strategi keluarnya. Namun mereka berhasil melindungi Bamako yang bisa saja jatuh."

Nicolas van de Walle, profesor pada Universitas Cornell, menyebut pemberontak telah menunjukkan "pengetahuan mumpuni atas medan yang amat sulit ini, kemampuan mereka untuk bolak balik melintasi perbatasan dan mobilitasnya yang mengesankan."
 
Pasukan Prancis di Mali berkekuatan 1.400 tentara, kata Menteri Pertahanan Jean-Yves Le Drian, dan jumlah ini diperkirakan bertambah menjadi 2.500 serdadu. Pasukan asing dari Afrika juga telah tiba di Mali.

Mali Utara jatuh ke tangan pemberontak setelah kudeta militer tahun 2012 di Bamako memicu ofensif pemberontak pimpinan suku Tuareg yang menguasai wilayah utara Mali, dan memecah negara di Afrika Barat itu menjadi dua bagian.

Bulan lalu, Dewan Keamanan PBB menyetujui pengiriman pasukan Afrika untuk membantu pemerintah Mali merebut kembali wilayah utaranya.

Kekuatan pasukan ini mencapai lebih dari 3.300 tentara, namun tidak pernah digelarkan di utara sampai sebelum September tahun lalu.

Prancis dan sejumlah negara lalu menyerukan percepatan penggelaran pasukan di Mali mengingat kondisi darurat di negeri itu.

Intelijen Aljazair

Sejauh ini seluruh anggota Dewan Keamanan, termasuk Rusia yang acap berbeda suara, mendukung Prancis, kata para diplomat.

Kendati menyampaikan dukungan diplomatik, negara-negara Barat ternyata tak sungguh-sungguh memberi bantuan logistik seperti diminta Prancis.

Amerika Serikat menyetujui permintaan Prancis untuk pengangkutan pasukannya. Para diplomat PBB mengatakan Paris masih berharap pada Washington untuk bisa menyediakan pesawat tak berawak dan kapasitas pengisian bahan bakar di udara.

Kejutan pada konflik di Mali tidak hanya terbatas pada prilaku kaum militan di medan perang, kata para diplomat.

Sebelum kelompok pemberontak melancarkan ofensif belum lama di bulan ini dan mengancan merebut Bamako, intelijen Aljazair telah menyimpulkan bahwa elemen-elemen Ansar Dine terbuka untuk melakukan negosiasi dan tak akan bertempur bersama AQIM dan kelompok lainnya.

Ternyata kesimpulan itu salah.

"Diyakini ada hubungan antara elemen-elemen Dine dan unsur-unsur dalam intelijen Aljazair," kata seorang diplomat kepada Reuters.

Sinyalemen ini lalu hilang sendiri, sedangkan Perwakilan Aljazair di PBB enggan mengomentari soal ini.

Aljazair sendiri mengizinkan eks penjajahnya, Prancis, untuk menggunakan wilayah udaranya, yang disebut para diplomat PBB sebagai bentuk komitmen Aljazair mendukung upaya Prancis di Mali.

Aljazair melakukan ini karena tak ingin kelompok militan Mali mundur ke wilayahnya di mana pemberontak Mali bisa melancarkan operasi semacam terjadi Rabu lalu di mana puluhan sandera diculik mereka. (*)

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013