Jakarta (ANTARA) - Perwakilan Kuasa DPR RI Habiburokhman mengatakan Kejaksaan RI tak terlepas dari pengawasan Presiden maupun DPR saat menanggapi dalil pemohon yang mengkhawatirkan Kejaksaan RI menjadi "super power" akibat kewenangan penyidikan jaksa dalam tindak pidana tertentu.

“Bahwa meskipun jaksa diberikan kewenangan untuk melakukan penuntutan atas nama negara dan diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu tentunya tak terlepas dari pengawasan,” ujar Habiburokhman dalam Sidang Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 dipantau dari kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Rabu.

Pengawasan terhadap jaksa, tutur Habiburokhman, dilaksanakan oleh Presiden RI, Majelis Kode Perilaku (MKP), Komisi Kejaksaan RI, dan DPR RI.

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Habiburokhman terhadap kekhawatiran pemohon kepada Kejaksaan RI yang dapat menjadi lembaga "super power" karena memiliki kewenangan lebih, yakni selain melakukan penuntutan, jaksa bisa melakukan penyidikan.

Baca juga: Kejagung pastikan uji materi tak lemahkan jaksa berantas korupsi
Baca juga: Komjak nilai Kejaksaan profesional jalani wewenang penyidikan tipikor


Habiburokhman menambahkan bahwa sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus menyatakan permohonan ditolak dan tidak dapat diterima pada perkara serupa, yakni Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan yang berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Pasal tersebut sudah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 16/PUU-X/2012 dan majelis hakim menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Oleh karena itu, Habiburokhman meminta kepada majelis hakim untuk tidak menerima, memeriksa, dan menguji pasal yang dimohonkan oleh pemohon.

“Sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan pemohon untuk sepenuhnya,” kata

Dalam perkara ini, Pemohon atas nama Yasin Djamaludin selaku Pengacara memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023