Saya sudah bertekad untuk memanfaatkan semua bangunan itu,
Banda Aceh (ANTARA) - Gedung Kesenian berkubah kuning di Kota Lhokseumawe, Aceh, pada medio Mei 2023, tampak sunyi. Bangunannya dikelilingi belukar yang tumbuh liar setinggi lutut orang dewasa.

Pembangunan gedung itu terhenti dan meninggalkan sebagian konstruksi tanpa ada atap. Temboknya pun retak, kaca jendela pecah, dan pintu utamanya terkunci rapat.

Di dalam gedung terlihat coretan di dinding bertuliskan "proyek abal-abal", yang bisa jadi merupakan curahan hati warga terhadap proyek terbengkalai itu.

Masih dari daerah berjuluk Kota Petro Dolar itu, proyek Gedung Pasar Rakyat Pusong juga bernasib sama. Pasar Rakyat Pusong yang dibangun sejak 2016 dengan anggaran Rp8,8 miliar dari dana Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) itu dibiarkan mangkrak. Infrastruktur itu gagal berfungsi menggerakkan ekonomi riil yang membawa manfaat masyarakat. Kondisinya kini bagaikan rumah hantu karena gelap, banyak sampah, dan menguar bau kotoran binatang.

Dua bangunan tersebut adalah sebagian kecil dari puluhan gedung lainnya di Kota Lhokseumawe yang lama mangkrak. Pemerintah Kota Lhokseumawe kini membentuk tim khusus untuk mencoba menyelamatkan aset toxic (bermasalah) tersebut.

Data yang dihimpun ANTARA, sedikitnya ada 21 aset bangunan mangkrak di Lhokseumawe. Mulai dari Gedung Kesenian dengan anggaran Rp5,2 miliar, Gedung Mutu Pendidikan dengan anggaran Rp4,5 miliar, Mes Gedung Pengembangan Mutu dan Pelatihan dengan anggaran Rp1,8 miliar, Gedung Sarana dan Prasarana Bumi Perkemahan Pramuka dengan anggaran Rp1,4 miliar, Gedung Pasar Rakyat Pusong dengan anggaran Rp8,8 miliar, Pasar Tradisional dengan anggaran Rp1 miliar, Pasar Ikan dengan anggaran Rp936 juta.

Kemudian ada Gedung Bordir Blang Cut dengan anggaran Rp1,1 miliar, proyek Los H Lantai II dengan anggaran Rp936 juta, Cold Storage dan Terminal Bongkar Muat Pasar Induk dengan anggaran Rp2,8 miliar, Pasar Rakyat Ujong Blang dengan anggaran Rp5,8 miliar, Pasar Rakyat Lhokseumawe dengan anggaran Rp5,7 miliar, Gedung Pangan dengan anggaran Rp250 juta, Gudang pilot project dengan anggaran Rp40 juta, Mushola dan MCK Pilot Project dengan anggaran Rp63 juta, tiga unit Kandang Sapi Pilot Project dengan anggaran Rp320 juta, Pagar Karantina Sapi Pilot Project dengan anggaran Rp29 juta, Rumah Karyawan Pilot Project dengan anggaran Rp45 juta, dan Pagar Pilot Project dengan anggaran Rp352 juta.

Pemerintah Kota Lhokseumawe memperkirakan uang negara yang sudah terbuang untuk membiayai puluhan aset toxic itu sedikitnya mencapai Rp23 miliar. Sebanyak 21 bangunan itu mulai digarap sejak 2008 hingga 2020. Anggaran yang digunakan untuk pembangunan yaitu berasal dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), serta Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK).

Kenapa bisa sebanyak itu proyek mangkrak? Dan kenapa baru sekarang dibenahi? 

Menyelamatkan banyak bangunan yang tidak mudah itu kini berusaha dilakukan oleh Penjabat (Pj.) Wali Kota Lhokseumawe Imran. Sebagai langkah awal, pemerintah daerah membentuk tim penyelamat aset daerah untuk mencari solusinya.

Berbagai alasan menjadi penyebab bangunan mangkrak tersebut, antara lain, belum ada serah terima bangunan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe. Kemudian, perencanaan bangunan kurang matang sehingga berdampak pada konstruksi, pemilihan lokasi bangunan tidak tepat, dan faktor penyebab lainnya terdengar konyol tapi benar terjadi: isi gedung kerap dijarah orang tak dikenal sebelum difungsikan!

Menurut Imran, sudah seharusnya puluhan bangunan itu diupayakan untuk diselamatkan agar berfungsi seperti semestinya. Apabila bangunan pasar berfungsi dengan baik, Imran meyakini Lhokseumawe bisa memiliki infrastruktur pasar yang paling besar, lengkap, dan terintegrasi pada satu area di Aceh.

Kemudian untuk bangunan perkantoran yang masih mangkrak, kondisinya dinilai termasuk bagus sehingga bisa difungsikan dengan maksimal untuk aparatur sipil negara (ASN) dalam melayani masyarakat. Hal itu bisa jadi solusi untuk jajaran Pemko Lhokseumawe yang hingga kini masih menyewa bangunan untuk perkantoran.

"Banyak juga kantor di Lhokseumawe itu tidak bagus. Kenapa kita harus bangun mal layanan publik, sementara sampai saat ini Kantor Inspektorat saja kita belum ada anggaran untuk pembangunannya. Analisis yang menyangkut dengan itu tidak dilakukan dengan baik," tegas Imran.

Meski begitu, ia tidak menampik ada beberapa perencanaan bangunan yang mangkrak tersebut kurang tepat. Misalnya, standar pengelolaan limbah dan sampah pada beberapa proyek, seperti pada bangunan pasar yang dibangun di dekat tambak dan permukiman warga. Ia tidak menginginkan pada jangka waktu panjang akan muncul masalah dengan masyarakat karena limbah.

Dalam perencanaan kota, seharusnya terintegrasi dengan tingkat tapak (grass root) mulai dari desa. Apakah selama ini sudah terintegrasi? Karena seharusnya sebelum membuat sebuah proyek apapun harus jelas untuk apa dan sesuai dengan lokasi sekitarnya.

Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe seharusnya benar-benar mengawasi dan memantau pembangunan maupun fungsi dari bangunan di wilayahnya. Jangan sampai proyek pembangunan yang salah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, menjadi beban pada masa depan bagi pemerintahan yang baru.

Pemko Lhokseumawe hingga saat ini berkomitmen tidak akan melakukan pembangunan gedung apa pun hingga bangunan mangkrak tersebut dapat dioptimalkan fungsinya.

"Kalau tiba-tiba saya disuruh untuk perbaiki lagi, kan tidak mungkin diulang. Saya sudah bertekad untuk memanfaatkan semua bangunan itu," kata Imran.
Kepala Bagian Protokol Komunikasi Pimpinan Kota Lhokseumawe Darius terpaksa masuk ke proyek mangkrak Gedung Kesenian lewat kace jendela yang pecah di Kota Lhokseumawe, Aceh, Mei 2023. ANTARA/Try Vanny S



Kepala Bagian Protokol Komunikasi Pimpinan Kota Lhokseumawe Darius mengungkapkan banyak bangunan yang dijarah sebelum diserahterimakan oleh kontraktor. Namun, hal tersebut merupakan kesalahan dari kontraktor selaku pihak rekanan.

Tanggung jawab keamanan bangunan sepenuhnya berada pada pihak kontraktor hingga serah terima dilakukan walaupun terlampau lama hingga bertahun-tahun.

Yang sudah pasti, kontraktor harus memenuhi spesifikasi. Namun yang terjadi saat ini, banyak gedung dibangun di luar spek. Selain itu,  minimnya pengawasan juga berakibat pada maraknya penjarahan.

Sementara itu, menurut sudut pandang Ketua DPRK Lhokseumawe Ismail, banyaknya bangunan mangrak di wilayah tersebut akibat perencanaan yang kurang matang sebelum pembangunan dilaksanakan maupun setelah pembangunan selesai.

Seharusnya bangunan tersebut dibuat master plan gedung A untuk apa dan gedung B untuk apa, baru dibuat gedung. Namun, setelah dibuat gedung, yang sayangnya menghabiskan uang masyarakat yang anggarannya sangat luar biasa, malah tidak berfungsi selayaknya gedung baru dan berguna bagi masyarakat.

Ismail juga memberikan solusi kepada Pemko Lhokseumawe agar segera memfungsikan gedung yang sudah terbengkalai beberapa tahun terakhir. Semua kembali kepada pemerintah dengan memanggil dinas terkait yang bertanggung jawab terhadap gedung mangkrak tersebut.

"Semua gedung dan bangunan harus segera difungsikan, kita sangat menyayangkan uang rakyat yang digunakan untuk pembangunan," kata Ismail.

Provinsi Aceh dengan keistimewaannya mendapat dana otonomi khusus, sejatinya bisa mengejar ketertinggalan pembangunan untuk bangkit dari dampak konflik dan bencana tsunami.

Setidaknya itu jadi harapan besar masyarakat di Tanah Rencong itu bahwa uang rakyat melalui DOKA bisa memberi manfaat seutuhnya untuk kemajuan Aceh.

Hasil akhir dari ikhtiar Pemko Lhokseumawe untuk menyelamatkan bangunan mangkrak tersebut sangat dinantikan. kalau memang proyek mangkrak tersebut ada indikasi merugikan negara, sebaiknya dibawa ke ranah hukum agar pertanggungjawabannya terang benderang.



Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023