Jakarta (ANTARA) - Working Group ICCAs Indonesia (WGII) mendorong implementasi kerangka Keanekaragaman Hayati Kunming Montreal Global Biodiversity Frame Work (KM-GBF) yang disepakati dalam COP-15 oleh Convention on Biological Diversity (CBD) pada 2022.

Salah satu upaya WGII dalam hal ini adalah mendorong publik dan pengambil kebijakan untuk mengambil aksi konkret untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati yang dapat mengancam kehidupan di bumi.

“Pemerintah perlu mengambil tindakan konkret tegas untuk mengkoreksi kekurangan yang selama ini ada dalam penyelenggaraan konservasi sebagaimana yang disepakati dalam KM-GBF,” kata Koordinator WGII Kasmita Widodo di Jakarta, Senin.

WGII berpendapat komitmen KM-GBF membawa perubahan positif karena memandatkan negara anggota termasuk Indonesia untuk menetapkan target ambisius dalam mencegah dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati dengan cara transformatif serta inklusif.

Cara transformatif tersebut adalah A Whole Society Approach to Conservation yakni mengikutsertakan dan menjadikan masyarakat sebagai aktor konservasi

Sedangkan cara inklusif yaitu dengan memperhatikan prinsip hak-asasi manusia, kesetaraan serta partisipasi baik dari kelompok perempuan, pemuda, dan masyarakat adat dan lokal.

Meski demikian, Kasmita mengatakan komitmen itu tidak cukup hanya menjadi janji dan perencanaan sehingga perlu dituangkan ke dalam implementasi kebijakan yang mendukung.

Menurutnya, pengelolaan keanekaragaman hayati perlu memperhatikan hak-hak masyarakat adat, mengakui praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan lokal, serta melibatkan mereka dalam mengambil keputusan terkait dengan keanekaragaman hayati.

“Konservasi tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, sebab pada faktanya konservasi adalah budaya dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal,” ujarnya.

Terlebih lagi, kebijakan konservasi melalui Undang Undang No. 5 Tahun 1990 juga sudah tidak mampu menjawab kebutuhan dan perubahan paradigma konservasi yang didorong secara global maupun dinamika empirik dari krisis keanekaragaman hayati, iklim dan pandemi.

Selain itu, penyelenggaraan konservasi kini tidak berjalan efektif seperti adanya konflik agraria pada hampir seluruh realitas empiris penetapan kawasan konservasi di Indonesia baik berupa konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan maupun konflik antara manusia dan satwa.

Hal itu disebabkan oleh absennya beberapa prinsip penting dalam konservasi seperti inklusifitas, kolaborasi, PADIATAPA, dan kearifan lokal.

Berdasarkan data HuMa tahun 2018 terdapat 86 konflik kehutanan dengan 27 di antaranya berada di Taman Nasional dan 13 kasus berakhir dengan kekerasan sedangkan Komnas HAM mencatat terdapat 40 kasus masyarakat dengan kawasan hutan yang sebagian adalah kawasan konservasi.

Berdasarkan data WGII, dari lebih 30 juta hektar wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan konservasi terdapat 5.756 desa dengan luasan lebih dari 20 juta hektar serta 4,1 juta hektar di antaranya merupakan wilayah adat meski hanya 922,8 ribu hektar yang menerima pengakuan melalui produk hukum daerah.

“Pemerintah seharusnya belajar dari masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) bagaimana memastikan keberlanjutan keanekaragaman hayati,” tegas Kasmita.

WGII mencatat ada lebih dari 467.700 hektar wilayah yang dilindungi oleh MAKL yang dilakukan melalui praktik kearifan lokal dengan potensi wilayah mencapai 4,2 juta hektar.

Praktik yang disebut sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) ini tersebar di berbagai tipe landscape dan ekosistem baik di wilayah daratan maupun pesisir dan laut seperti tana ulen, leweung titipan, lubuk larangan, awig-awig, sasi, dan lain-lain.

Baca juga: Membumikan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework Untuk Keanekaragaman Hayati Indonesia

Baca juga: Kerangka kerja keanekaragaman hayati Kunming-Montreal disetujui COP15

Baca juga: SEAMEO Biotrop pandang isu biodiversitas penting pada KTT ASEAN














“Kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk konservasi keanekaragaman hayati juga seharusnya diakui dan dihitung,” kata Kasmita.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023