New York (ANTARA) - NEW YORK CITY, 29 Mei (Xinhua) -- Dedolarisasi tampaknya menjadi tren yang tak terbendung karena negara-negara di seluruh dunia berupaya mengurangi ketergantungan mereka terhadap mata uang Amerika Serikat (AS) itu, kata Eli Clifton, penasihat senior di Quincy Institute, dalam sebuah artikel yang diunggah di situs web Signs of the Times (SOTT) pekan lalu.

"Pendorong utamanya adalah (upaya) Washington dalam menjadikan mata uangnya sebagai senjata melalui sanksi, yang mencakup 29 persen ekonomi global dan 40 persen cadangan minyak global," kata artikel itu.

Negara-negara, terutama di kawasan Selatan Dunia (Global South), mengurangi cadangan dolar AS mereka, menyelesaikan transaksi lintas batas dalam mata uang non-dolar, dan menjajaki pembentukan mekanisme pembayaran multilateral baru, kata artikel itu.

Dua artikel Responsible Statecraft baru-baru ini, satu ditulis oleh salah satu kepala International Crisis Group Frank Giustra dan satu lagi oleh Non-Resident Fellow Quincy Institute Amir Handjani, memulai proses untuk menjelaskan pendorong tren ekonomi ini, serta perangkap geopolitik yang dihadapi AS saat banyak negara-negara di dunia mengurangi ketergantungannya terhadap dolar, terutama jika AS gagal melibatkan negara lain dalam proses pembentukan sistem moneter multilateral, menurut artikel tersebut

"Giustra dan Handjani mendukung AS untuk mengakui tren dedolarisasi dan agar Washington mengatasi bahaya keamanan nasional, serta ketidakstabilan ekonomi dan politik global, yang dikaitkan dengan penurunan hegemoni ekonomi AS yang tidak terkelola ini," imbuh artikel itu. 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023