Tanjung Selor (ANTARA) - Taman seluas 1,35 hektare itu terhampar hijau seperti permadani. Kawasan itu adalah Taman Nasional Kayan Mentarang yang berada di jantung rimba Kalimantan Utara (Kaltara).

 Taman yang lingkungannya masih sangat asri ini berada di wilayah Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Bulungan. Taman nasional ini juga berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Ketinggian dari taman nasional berada di antara 200 sampai 2.558 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kawasan ini memiliki tipe hutan yang cukup lengkap serta menjadi habitat untuk berbagai spesies flora dan fauna. Bahkan, sampai sekarang masih banyak kekayaan alam yang belum teridentifikasi.

Sebelum menjadi taman nasional, Taman Nasional Kayan Mentarang  pada awalnya berstatus sebagai cagar alam yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tahun 1980, melalui Surat Keputusan Nomor 84/Kpts/Un/II/1980 tanggal 25 November 1980.

Beberapa tahun kemudian, WWF (World Wide Fund) serta masyarakat Suku Dayak sebagai penghuni wilayah hutan sekitar Kayan Mentarang mendesak agar status kawasan diubah menjadi taman nasional. Akhirnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 631/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996 kawasan cagar alam ini resmi menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang.

Tujuan penetapan status tersebut antara lain menampung aspirasi Suku Dayak,  sehingga kawasan ini ini disebut sebagai hutan primer terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

Nama Taman Nasional Kayan Mentarang diambil dari nama dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut. Kedua sungai tersebut adalah Sungai Kayan yang mengalir di bagian selatan, serta Sungai Mentarang yang mengalir di bagian utara. Taman nasional ini berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijumpai di kawasan taman nasional ini  di antaranya kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta wallichii), agathis (Agathis borneensis), aren (Arenga pinnata), dan gaharu (Aquilaria malacensis).

Selain itu, tumbuh pula palem, kantong semar, serta beberapa spesies anggrek. Sampai saat ini, masih ada beberapa flora yang belum teridentifikasi karena merupakan spesies yang baru ditemukan di Indonesia.

Terdapat 100 spesies mamalia yang hidup di taman nasional ini dan 15 spesies diantaranya adalah jenis hewan endemik.  Di kawasan ini terdapat pula delapan spesies primata, serta lebih dari 310 spesies aves, dan 28 spesies diantaranya merupakan jenis endemik Kalimantan yang terancam punah.

Beberapa spesies fauna yang terancam punah di kawasan ini antara lain beruang madu (Helarctos malaynus-euryspilus), macan dahan (Neofelis nebulosa), banteng (Bos javanicus-lowi), dan juga lutung dahi putih (Presbytis frontata).

Kawasan bagian utara  ini juga pernah dihuni oleh gajah Kalimantan (Elephas maximus-Borneensis) dan badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis), yakni  di daerah Lumbis dan Krayan, Kabupaten Nunukan.

Ada pula orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang pernah menjadi penghuni taman nasional ini di bagian tengah sampai selatan kawasan. Hanya saja ketiga spesies endemik dan langka tersebut sudah dinyatakan musnah akibat kegiatan perburuan liar yang terjadi pada masa silam.

Potensi wisata di daerah ini bukan saja dari keunikan flora, fauna dan pemandangan alamnya,  namun juga oleh pesona masyarakat yang hidup sejak ratusan atau bahkan  ribuan tahun silam, yakni Punan, salah satu subetnik Dayak.

Menyusuri sungai

Menyusuri sungai di Taman Nasional Kayan Mentarang,  tak jarang terdengar nyaring suara ketinting yang membelah sungai Malinau. Bahkan, sesekali mata dimanjakan dengan satwa liar yang sedang minum di pinggir sungai. Jika beruntung, burung enggang kerap melintas di sepanjang sungai.

Batu-batu di pinggir sungai memberikan kesan alami, sedangkan sungai terlihat berwarna hijau karena pantulan pohon yang masih rindang. Untuk menyibak alur, juru mudi atau tukang perahu harus lihai memecah jeram dalam perjalanan.

Seorang juru mudi yang menakhodai perahu kayu menunjukkan jalur lintas yang aman. Air yang muncrat masuk ke dalam perahu  sudah hal biasa dan memacu adrenalin penumpangnya. Perjalanan menyusuri sungai selama delapan jam di Taman Nasional Kayan Mentarang, terasa singkat.

Alih-alih disuguhkan perjalanan macet dan polusi, perjalanan ini justru memberikan kesan asri dan damai. Atraksi wisata ini bisa dinikmati selama perjalanan menuju Desa Long Jalan, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Desa Long Jalan merupakan desa yang berada di paling ujung di hulu Sungai Malinau. Desa yang juga disebut Desa Puten ini hanya bisa diakses menggunakan ketinting atau biasa dikenal dengan perahu bermotor.

Meskipun aksesnya sulit, tidak memadamkan semangat Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Ekowisata Desa Long Jalan. Mereka berpartisipasi aktif dalam kegiatan Bimbingan Teknis Pemandu Wisata Alam yang diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Malinau di Hotel MC pada 23-27 Mei 2023.

Anye Irang, Ketua KUPS Ekowisata Long Jalan menuturkan bahwa Desa Long Jalan memiliki kebudayaan Suku Punan yang masih kental. Banyak atraksi wisata budaya yang bisa dinikmati di Desa Long Jalan. Mereka mempertahankan budaya Suku Punan,  seperti menghidupkan api menggunakan batu.  Atraksi mereka menghidupkan api dengan cara sangat tradisional itu ternyata itu menjadi atraksi wisata yang bisa menarik pengunjung.

Senada dengan itu, Ernianthy, anggota KUPS Ekowisata Long Jalan mengemukakan,  selain potensi wisata budaya, Desa Long Jalan juga memiliki kekayaan alam eksotis. Salah satunya, masyarakat Suku Punan memiliki kepercayaan harus melindungi Pan atau air asin.

Air asin adalah tempat minumnya satwa-satwa liar. Jika air asin hilang, maka hewan juga bisa hilang. Mereka juga dilarang membunuh hewan di air asin. Suku Punan percaya jika membunuh hewan di air asin atau hilangnya air asin akan membawa malapetaka. Melindungi Pan merupakan kearifan lokal masyarakat Punan dalam melindungi hutannya. 

Keterbatasan adalah potensi

Pelatih Bimbingan Teknis Pemandu Wisata Alam, Nehemia Gurusinga,  menjelaskan untuk menjadi pemandu wisata alam dibutuhkan kemampuan interpretasi, yakni kemampuan menghubungkan objek wisata dengan pengunjung.

Dalam pemanduan wisata harus memastikan enam aspek yaitu aspek promosi Sumber Daya Alam (SDA), keunikan objek wisata, memperhatikan keamanan dan ketertiban pengunjung, kelestarian potensi SDA, memberikan pengalaman arti pendidikan dan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan kegiatan kepariwisataan.

Semua itu, menurut pengakuan para wisatawan, memberikan pengalaman berkesan selama melihat keindahan alam dan pesona budaya Punan.

Fasilitator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Desa Long Jalan,  Dodi mengungkapkan bahwa potensi wisata yang ada di Desa Long Jalan akan dikembangkan menjadi program wisata alam dan budaya. Hal ini guna meningkatkan perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

KKI Warsi merupakan organisasi non-pemerintah yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Warsi bertekad pengelolaan obyek wisata alam dan pesona budaya masyarakat Punan saling melengkapi. Kekuatan wisata di Taman Nasional Kayan Mentarang justru  dengan mempertahankan alam dan budaya apa adanya.

Akses sulit menuju Desa Long Jalan, faktanya bisa dijadikan potensi pengembangan wisata secara alami, bukan sebagai kendala karena keterbatasan. Kondisi itu justru dapat menjadi ciri khas yang dimiliki Desa Long Jalan. Sebab, sensasi perjalanan selama delapan jam di atas perahu menyusuri Sungai Malinau bisa memberikan pengalaman unik bagi wisatawan.

Apalagi, wisatawan bisa berinteraksi dan belajar langsung dengan masyarakat Suku Punan  mengenai adat tradisi serta budaya mereka, sambil menikmati keindahan hutan primer terluas yang ada di Indonesia tersebut
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023