Jakarta (ANTARA) - Produk sawit Indonesia dinilai memiliki peluang untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan minyak nabati dunia yang diperkirakan mencapai 307,9 juta ton pada 2050.

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan RI Farid Amir mengatakan saat ini Indonesia telah berkontribusi 22 persen dari total produksi minyak nabati dunia dan 60 persen lebih dari produksi minyak sawit dunia.

"Indonesia harus bangga menjadi produsen terbesar dengan total produksi 46,88 juta ton pada 2021, dari produksi minyak sawit dunia mencapai 75,5 juta ton," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, beragam keunggulan minyak sawit harus dimaksimalkan pengembangannya agar semakin kompetitif dibandingkan minyak nabati non sawit.

Tingginya produksi sawit, lanjutnya, memperkuat dukungan terhadap kinerja ekspor non migas Indonesia yang mana pada 2022 senilai 275,96 miliar dolar AS dengan kontribusi CPO dan produk turunannya sebesar 15 persen atau senilai 41,32 miliar dolar AS.

Dari catatan Kemendag RI, tren peningkatan nilai ekspor CPO dan produk turunannya selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 20 persen. Sementara itu, nilai ekspor CPO dan produk turunan Indonesia sebesar 41,32 miliar dolar AS pada 2022 dan volume ekspor berjumlah 35,52 juta ton.

Namun demikian Farid mengakui ekspor sawit Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan berat di negara tujuan ekspor salah satunya saat ini yakni di Uni Eropa dengan hadirnya Undang-Undang Uni Eropa tentang Deforestasi atau EUDR

Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan mengatakan EUDR menjadi regulasi yang membuat perubahan signifikan perdagangan ekspor sawit Indonesia di Uni Eropa setelah sebelumnya ada hambatan melalui RED II yang menghambat konsumsi sawit untuk sektor biofuel.

“Tetapi dengan adanya EUDR ini bukan hanya sektor energi yang dihambat tetapi juga sektor pangan. Jadi EUDR ini sangat luas dampaknya kepada sektor food, energi, dan industri,” katanya.

Sebelum EUDR diberlakukan, tambahnya, ekspor dari Indonesia dan Malaysia turun signifikan ke Uni Eropa semenjak 2017. Indonesia pernah mengekspor produk sawit 5,5 juta ton, namun turun menjadi 3,7 juta ton pada 2022 padahal, konsumsi minyak nabati di Uni Eropa tumbuh 4,3 persen.

"Ini terjadi setelah adanya hambatan kepada sawit. Restriksi perdagangan terjadi akibat adanya persaingan dengan minyak nabati lain,” ujarnya

Terkait hal itu, menurut Kepala Divisi UKMK Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Helmi Muhansyah, sebagai antisipasi hambatan dagang terhadap produk kelapa sawit, pemerintah telah meningkatkan konsumsi sawit di dalam negeri melalui serangkaian kebijakan seperti biodiesel dan produk minyak merah.

Menurut dia, BPDPKS berupaya memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat salah satunya melalui pemberdayaan kemitraan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK).

"Kami melakukan promosi untuk meningkatkan imej produk kelapa sawit dan memperluas pasar kelapa sawit," katanya dalam kegiatan "Promosi Sawit Sehat" yang digelar BPDPKS .

Selain itu, tambahnya, program riset sawit yang dibiayai BPDPKS juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku UKMK.


Baca juga: Pengamat: Sawit RI masih dominasi pasokan minyak nabati global di 2023

Baca juga: Airlangga tegaskan penyediaan minyak nabati global harus holistik

Pewarta: Subagyo
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023