Jakarta (ANTARA News) - Raja Garuda Mas (RGM) Indonesia membantah bahwa pihaknya termasuk perusahaan yang tidak beritikad baik untuk melunasi utangnya kepada Bank Mandiri.
"Sebagai rasa tanggung jawab dan itikad baik untuk melunasi pinjaman, kami sejak tahun 2000 berupaya merestrukturisasi kredit, dan setelah Perjanjian Restrukturisasi ditandatangani 30 Juni 2000, kemudian diperbaharui pada 30 September 2002, hingga saat ini kami senantiasa melunasi kewajiban utang pokok dan bunga sesuai perjanjian secara kooperatif dan tepat waktu kepada Bank Mandiri," kata Presiden Direktur RGM Indonesia Ibrahim Hasan di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya diberitakan bahwa RGM Indonesia termasuk debitur Bank Mandiri yang tidak beritikad baik untuk melunasi pinjamannya yang mencapai hampir Rp4 triliun.
Bahkan, kata Ibrahim, setelah harga pulp (bubur kertas) membaik di pasar dunia, sejak akhir 2004 pihaknya mengajukan proposal kepada para kreditur untuk meningkatkan nilai pembayaran minimum tahunan, yang sampai saat ini belum disepakati, tetapi diharapkan dapat diselesaikan segera.
"Kami senantiasa membayar cicilan pokok dan bunga kredit sesuai dengan perjanjian, dan bahkan kami berinisiatif agar jumlah pembayaran minimum bisa dinaikkan karena harga pulp sedang baik. Itulah rasa tanggung jawab dan itikad baik kami untuk menyelesaikan kredit ke Bank Mandiri," katanya.
Ibrahim menceritakan, hutang RGM Indonesia ke Bank Mandiri bersumber dari kredit sindikasi untuk membangun pabrik pulp di Riau pada 1993, meliputi pabrik pulp (Riau Andalan Pulp and Paper/RAPP), pabrik kertas (Riau Andalan Kertas) dan pembangkit energi (Riau Prima Energi), yang disebut Riau Complex.
Namun sebelum proyek itu selesai dibangun, pada 1998 terjadi krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia, yang kemudian menyulitkan pembangunan pabrik pulp itu, karena suku bunga pinjaman naik sedangkan harga pulp turun. Untuk menyelesaikan pembangunan pabrik pulp itu RGM menjual asetnya di China dan menginvestasikan 100 juta dollar AS ke proyek tersebut.
Pada 1998 utang dalam bentuk dollar AS dikonversi menjadi rupiah, namun pada 1999 kembali dikonversi ke dollar AS. Hal itu menyebabkan kerugian karena perbedaan kurs sebesar 187 juta dollar AS, sehingga utang RGM meningkat dari 1,320 miliar dollar AS menjadi 1,515 miliar dollar AS.
"Namun kami tidak mendapat pemotongan utang sama sekali," kata Ibrahim.
Biarpun demikian, katanya, pihaknya hingga kini tetap membayar kewajibannya dengan besaran yang sesuai dalam perjanjian restrukturisasi.
Mengenai pemberitaan soal pernyataan pihak Bank Mandiri, RGM Indonesia, kata Ibrahim, tidak akan mengambil langkah hukum, tetapi akan berupaya mencari solusi yang lebih baik dengan mengadakan komunikasi yang lebih intensif, karena bagi RGM kreditur merupakan mitra.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006