Jakarta (ANTARA) - Pejabat Uni Eropa (EU) menegaskan bahwa krisis keanekaragaman hayati tidak bisa dipisahkan dari masalah perubahan iklim dan merupakan dua isu lingkungan yang saling berkaitan serta saling mempengaruhi.

“Perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati bagai dua sisi mata uang, karena itu penting bagi komunitas internasional untuk bersama melindungi planet kita,” kata Direktur Jenderal untuk Lingkungan Komisi Eropa Florika Fink-Hooijer dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.

Menurut dia, salah satu upaya dalam memitigasi krisis keanekaragaman hayati yang harus ditindaklanjuti dengan serius adalah target konservasi atas 30 persen area darat dan laut dunia pada 2030, atau “30 by 30”, yang diadopsi pada pertemuan puncak COP 15 di Montreal, Kanada pada Desember 2022.

Di Eropa sendiri, ujar Florika, telah dicanangkan “Biodiversity Strategy 2030" serta peraturan-peraturan turunannya yang bertujuan untuk melindungi sepertiga wilayah daratan dan lautan, serta merestorasi wilayah yang sudah terdegradasi.

Meskipun mengakui bahwa strategi tersebut tidak mudah dijalankan, dia menegaskan bahwa yang terpenting dari rencana itu adalah mengubah pola pikir masyarakat Eropa mengenai pentingnya melindungi lingkungan.

Baca juga: Lindungi aneka ragam hayati, China larang drone di objek wisata Hunan

“Penting untuk kalangan bisnis menyadari bahwa mereka bergantung pada lingkungan, seperti halnya kehidupan kita sehari-hari … dan bagaimana perlindungan terhadap lingkungan bisa mendukung aktivitas produksi yang berkelanjutan,” tutur Florika.

“Sebagai konsumen, kita pun perlu mengubah pola pikir kita untuk beralih ke konsumsi yang berkelanjutan,” ujar dia melanjutkan.

Lebih lanjut Florika menjelaskan bahwa Eropa hampir memenuhi target perlindungan 30 persen wilayah daratannya, tetapi masih harus bekerja keras untuk mencapai target perlindungan wilayah laut.

Dia juga menyebut bahwa Eropa telah menginisiasi target-target perlindungan iklim, antara lain dengan mengurangi 30 persen risiko penggunaan pestisida, memproduksi 25 persen hasil pertanian secara organik.

“Untuk perlindungan alam saya rasa kami sudah punya arah yang jelas, dan kami akan melanjutkan upaya kami. Tetapi restorasi (pemulihan) adalah sesuatu yang sulit bagi kami, karena kami sudah kehilangan banyak alam kami,” kata Florika.

“Karena itu kami akan fokus pada pelestarian dan pencegahan (krisis lingkungan),” ujar dia menambahkan.

Sebagai negara megabiodiversity atau kaya keanekaragaman hayati, Indonesia disebut dia memiliki berbagai pengetahuan yang bisa dibagikan kepada dunia, sekaligus menjadi potensi kolaborasi bagi banyak pihak.

Baca juga: SEAMEO Biotrop: biodiversitas ASEAN bisa jadi kekuatan ekonomi dunia

Baca juga: China rilis daftar keanekaragaman hayati tahunan


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023