Dibandingkan di level ASEAN, Indonesia di urutan kelima dari 11 negara lainnya.
Depok (ANTARA) - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) melakukan kajian mengenai keterwakilan perempuan dalam perpolitikan Indonesia terkait dengan kuota minimal 30 persen bagi perempuan dalam kepengurusan politik belum terpenuhi.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI Hurriyah di UI Depok, Selasa, mengatakan bahwa diskusi mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia sangat terkait dengan perjalanan Indonesia melakukan reformasi politik.

"Dibandingkan di level ASEAN, Indonesia di urutan kelima dari 11 negara lainnya, jumlahnya 21persen ini angka di parlemen saja. Akan tetapi, jika dilihat lebih jauh lagi, ternyata ada kondisi yang memperlihatkan gap yang terlalu besar," ujarnya.

Hurriyah menuturkan bahwa keterwakilan perempuan di level daerah Indonesia hanya sekitar 16 persen pada tahun 2021. Angka ini lebih kecil daripada negara Laos yang mencapai 32 persen dan Vietnam sebesar 29 persen.

Dosen di FISIP UI ini mengemukakan bahwa ada kesamaan dari negara-negara ASEAN, yaitu faktor kebijakan kuota yang sangat berperan sangat penting dalam mendorong peningkatan ketahanan keterwakilan politik perempuan.

Baca juga: Pilih sistem pemilu yang mampu penuhi keterwakilan perempuan
Baca juga: Titi: Perkuat afirmasi keterwakilan perempuan melalui sistem "zipper"


Sementara itu, menurut Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) Diah Pitaloka, di level regulasi harus dicermati sebagai komitmen terhadap pelaksanaan undang-undang yang kemudian diturunkan dalam berbagai aturan.

"Saya khawatir masyarakat agak skeptis, lelah, dan tidak terlalu antusias dengan narasi-narasi demokrasi, tetapi lebih masuk ke dalam narasi yang praktis. Politik menjadi sangat praktis yang menurut saya harus dicermati sebelum membicarakan maju mundurnya affirmative action," ujarnya.

Diah menjelaskan bahwa affirmative action yang menarik adalah sebuah narasi yang tidak hanya diperjuangkan, tetapi juga diwariskan kepada generasi baru. Setiap generasi mempunyai perspektifnya dan concern masing-masing terhadap isu yang berbeda-beda.

Dikutip dari dpr.go.id, kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD NRI Tahun 1945, dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik makin disempurnakan. Ketentuan lebih lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023