Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan pendanaan dan asuransi risiko bencana
Yogyakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan RI mendiskusikan implementasi strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana bersama delegasi negara anggota ASEAN di Yogyakarta, Senin.

Kegiatan itu berlangsung dalam seminar bertajuk "Disaster Risk Financing and Insurance and Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia" yang merupakan acara sampingan atau "side event" Pertemuan Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Sentral ASEAN.

"Kami mengajak para peserta untuk dapat aktif berdiskusi dan menyampaikan pembelajaran penting terkait upaya pembangunan resiliensi mengingat Asia Tenggara termasuk daerah paling rawan bencana di dunia," ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono saat membuka acara itu.

Parjiono menuturkan selama ini Indonesia telah menyusun Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau "Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI)" yang memberi peluang pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD.

Strategi itu, kata dia, telah mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional sebagai pencapaian yang signifikan untuk memperkuat pendanaan risiko bencana.

"Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan pendanaan dan asuransi risiko bencana," kata dia.

Baca juga: Pemerintah buka penawaran SWR004 untuk wakif individu dan institusi

Baca juga: Pemerintah terbitkan SUN lewat private placement senilai Rp2,5 triliun


Strategi pendanaan yang diluncurkan Kemenkeu pada 2018 tersebut, menurut dia, berangkat dari pengalaman sejumlah peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia.

Parjiono mengatakan saat Yogyakarta dilanda gempa bumi dahsyat pada 2006, Indonesia belum memiliki strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

Padahal kerugian akibat bencana itu ditaksir mencapai kurang lebih Rp29 triliun.

"Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp300 miliar yang kalau kita hitung hanya 1 persen dari total kerugian dan kerusakan, sehingga hampir semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi harus ditanggung oleh APBN atau APBD," kata dia.

Selang 12 tahun, serangkaian bencana berskala besar masih terus terjadi di Indonesia di antaranya gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, berikutnya gempa di Lombok serta tsunami di Selat Sunda pada 2018.

Pada tahun yang sama, ujar Parjiono, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 2.500 bencana terjadi di Indonesia yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal serta lebih dari 10 juta orang mengungsi, 300.000 unit rumah rusak, dengan kerugian ekonomi yang ditaksir mencapai sekitar Rp100 triliun.

"Rentetan bencana yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi tentunya memicu pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan strategi dan menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana," kata dia.

Selain menyusun strategi PARB, lanjut Parjiono, Pemerintah juga meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB).

"Instrumen (PFB) ini merupakan pengguna dana pertama di dunia yang dikhususkan untuk mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana dalam penanggulangan bencana," kata dia.

Ia berharap dua strategi pembiayaan risiko bencana dan perlindungan sosial di Indonesia itu dapat dikembangkan dan menjadi pembelajaran baik di tingkat regional ASEAN maupun global.

"Dua konsep besar yang masih terus dalam proses pengembangan, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang dirujuk serta diminta untuk berbagi pengetahuan," kata Parjiono.

Baca juga: APJI Lampung: Engkak ketan berpotensi dipasarkan ke kawasan ASEAN

Baca juga: Kemenkeu: Peringkat kredit S&P bukti kemajuan fiskal Indonesia

 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023