Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan Undang-Undang (UU) Kesehatan tidak menghapus peran serta keberadaan organisasi profesi kesehatan.

“Kita juga sudah menjelaskan bahwa di undang-undang yang baru, organisasi profesi akan tetap ada. Cuma memang tidak ditulis di dalam undang-undang,” katanya  setelah menghadiri konferensi pers RSCM di Jakarta, Jumat.

Terkait dengan tanggapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama empat asosiasi lainnya yang ingin menempuh peninjauan kembali atas pengesahan UU Kesehatan pada Selasa (11/7), ia menuturkan keberadaan IDI sebagai organisasi profesi yang menaungi banyak kelompok di bidang kesehatan tidak akan dihapuskan dari undang-undang.

Hanya saja, katanya, keberadaan dan perannya akan diakui secara sama, seperti organisasi profesi lain yang bersifat serikat. Fungsi regulatori yang dimiliki IDI, juga akan dikembalikan kepada pemerintah, seperti aturan dasar yang sudah berlaku.

Ia mengatakan hal yang disoroti dalam UU Kesehatan adalah rekomendasi untuk menghapus penerbitan Surat Izin Praktik (SIP), yang berdasarkan laporan dari para dokter muda, justru mempersulit mereka mendapatkan gelar spesialis.

Menkes Budi mengaku pertimbangan tersebut diambil pemerintah setelah mendengar masukan dari ahli yang tergabung dalam organisasi profesi, karena selain sulit didapat, SIP yang ingin dimiliki harganya amat mahal.

Ia juga menyatakan menyesal masalah ini terjadi ketika Indonesia amat kekurangan dokter spesialis di seluruh wilayah. Bahkan, distribusi dokter spesialis yang tidak merata, masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan sistem kesehatan di Indonesia.

Baca juga: Menkopolhukam persilahkan UU Kesehatan diuji materi

Maka dari itu, ia mengatakan langkah yang akan diambil IDI dan rekan sejawat sebagai hak berpendapat masing-masing pihak yang harus dihargai.

Oleh karena itu, dirinya tidak akan menghalangi upaya tersebut.

“Jadi kalau misalnya nanti menggugat, itu hak kembali masing-masing orang. Dengan demokrasi ini kita hargai. Tapi kalau saya menjelaskan kenapa itu tidak dilakukan, kita melihat banyak masukan dari dokter muda mereka kesulitan untuk mendapatkan spesialis, spesialis itu sangat susah dan sangat mahal,” kata dia.

Pada Rabu (12/7), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) bersama empat organisasi profesi berupaya untuk menempuh langkah hukum berupa pengajuan peninjauan kembali atas Undang-Undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kami dari IDI bersama dengan empat organisasi profesi akan menyiapkan upaya hukum sebagai bagian tugas kami sebagai masyarakat yang taat hukum untuk mengajukan judicial review," kata Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

Ia menilai UU Kesehatan cacat secara hukum sebab disusun secara terburu-buru dan tidak transparan, tanpa memperhatikan aspirasi dari semua kelompok, termasuk profesi kesehatan.

 Baca juga: Pemerintah ubah haluan anggaran wajib kesehatan jadi berbasis kinerja

Selain itu, katanya, masih banyak substansi dalam UU Kesehatan yang belum memenuhi kepentingan kesehatan rakyat Indonesia.

IDI juga menyorot pencabutan sembilan undang-undang lama yang diselesaikan dalam UU Kesehatan Omnibus Law dalam waktu enam bulan.

Ia menyinggung tentang hilangnya belanja wajib dalam UU Kesehatan sebagai komitmen negara di tataran pemerintah pusat maupun daerah.

Adib mengatakan keputusan itu membawa konsekuensi privatisasi sektor kesehatan yang komersial melalui sumber dana pinjaman dari luar negeri.

"Bukan tidak mungkin, melalui pinjaman privatisasi sektor kesehatan, komersialisasi, dan bisnis kesehatan yang ini sekali lagi akan membawa sebuah konsekuensi tentang ketahanan kesehatan Bangsa Indonesia," katanya.

Baca juga: IDI & 4 asosiasi tempuh "judicial review" atas pengesahan UU Kesehatan
Baca juga: DPR terima audiensi 20 organisasi profesi pendukung UU Kesehatan
Baca juga: Menteri Kesehatan: UU Kesehatan sederhanakan perizinan praktik medis


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023