Jangan cepat memvonis atau menjadikan orang atau kelompok lain hal yang tidak baik, apalagi memusuhinya, kemudian membencinya.
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Bidang Tasawuf Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Profesor Hamid Nasuhi mengatakan Tahun Baru Islam yang merupakan refleksi peristiwa hijrah Rasulullah saw. dari Mekah menuju Madinah, akan menjadi pemicu untuk membangun persatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama.

"Singkatnya, kedatangan Nabi Muhammad saw. mampu meredam konflik dan politik adu domba yang terjadi di Madinah. Maka, peristiwa hijrah Nabi juga dikenal dengan istilah ummatan wahidah yang mempersatukan antarimigran (muhajirin) dan pribumi (ansar) yang memiliki perbedaan suku dan agama yang berbeda," ujar Prof. Drs. Hamid Nasuhi, M.A. dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Hamid mengatakan bahwa peristiwa hijrah Rasulullah saw. dari Mekah menuju Madinah merupakan salah satu momentum penting Nabi Muhammad dalam perjuangan dakwah agama Islam.

Momentum ini juga menjadi titik balik perubahan besar dari kondisi penuh penindasan di Madinah menjadi umat yang membangun peradaban yang mengagumkan dalam sejarah Islam.

Ia mengungkapkan bahwa pada awalnya Madinah merupakan penduduk yang heterogen, terdiri atas kelompok-kelompok yang kerap berselisih, seperti ada Bani Aus, Bani Khazraj, Yahudi, dan kelompok lainnya.

Jika ditelisik, kata Hamid, Islam sesungguhnya adalah kalangan minoritas di Madinah. Namun, dengan kepiawaian dan kepemimpinan Nabi Muhammad, kelompok-kelompok besar di Madinah dapat disatukan.

"Mereka disatukan oleh Nabi. Mereka sebelumnya itu suka berperang dan sebagainya maka Nabi diundang ke Madinah. Jadi, Nabi itu menjadi pemersatu, jadi imam untuk satu komunitas besar yang terdiri atas bermacam-macam komunitas kecil sebelumnya," ucap Hamid.

Dalam peristiwa di Madinah kala itu, yang dimaksud umat (ummatan wahidah) adalah kesatuan dari berbagai kelompok di bawah satu imam, satu pemimpin untuk menghadapi ancaman dari luar Madinah.

Jika dalam konteks kenegaraan, pemimpin yang dimaksud juga bisa disebut Presiden atau pemimpin tertinggi dalam sebuah negara karena dapat menyatukan atau mempertahankan berbagai entitas menjadi satu kesatuan.

Direktur Advokasi dan Knowledge Management Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan bahwa momentum Tahun Baru Hijriah ini juga harus diilhami dengan semangat persatuan bangsa.

Selain itu, mempererat persatuan untuk mencegah terjadinya perpecahan dan masuknya ideologi asing yang tidak sejalan dengan kesepakatan para pendiri bangsa.

Selain itu, dia juga mendorong agar menjaga tradisi perayaan Tahun Baru Islam dengan kontemplatif maupun memadukan kreativitas atau kolaborasi dengan kearifan budaya lokal seperti pawai obor, Zikir 1 Muharam atau muhasabah (introspeksi).

Selain membangkitkan dakwah Islam, kata dia, hal ini juga bertujuan untuk berkontemplasi agar menjadi insan yang lebih baik pada tahun mendatang.

Di sisi lain, dia juga menyinggung terkait dengan oknum yang melakukan pembubaran terhadap acara bertemakan hijrah. Hal ini kontraproduktif dan dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Apalagi, animo masyarakat untuk hadir dalam acara tersebut relatif cukup besar.

Baca juga: BNPT sebut dai/daiah berperan penting cegah radikalisme dan terorisme
Baca juga: BNPT ajak mantan napiter Surakarta perkuat komitmen deradikalisasi


Guru Besar Bidang Tasawuf ini berpesan agar hal tersebut jangan sampai membuat perspektif Islam menjadi sempit.

Untuk membuat orang tertarik atau mengajak dalam jalan kebaikan itu, menurut dia, tidak mudah daripada generasi bangsa dirusak dengan aktivitas tidak bermanfaat seperti tawuran dan narkoba.

"Tinggal bagaimana pelaksanaannya diimplementasikan nilai-nilai kebangsaan," ujarnya.

Hamid memandang penting literasi yang baik dalam berhijrah seperti mengedepankan persatuan, persaudaraan, dan pemahaman yang moderat. Jangan sampai informasi yang diterima tidak utuh sehingga mudah untuk mengharamkan atau mengafirkan orang lain.

"Intinya dibutuhkan literasi, jangan sampai mereka itu langsung terima informasi yang kaget begitu, langsung mengklaim paling benar. Jika dia beda, dia (dianggap) musuh. Menurut saya, itu kurang gaul, kurang piknik, dan kurang baca," kata Hamid.

Ia mencontohkan Rasulullah menyatukan kaum ansar dan muhajirin, tentu prosesnya tidak mudah. Hal ini butuh kedewasaan dan mampu meredam ego untuk bisa berbaur dan bersatu dengan lainnya.

Untuk itu, Hamid berpesan jangan cepat memvonis atau menjadikan orang atau kelompok lain hal yang tidak baik, apalagi memusuhinya, kemudian membencinya.

Ia berharap agar sesama anak bangsa bisa bersatu dan bersama membangun Indonesia yang lebih baik.

"Karena siapa tahu orang yang Anda benci sekarang ini bisa menjadi kekasih pada waktu yang lain. Orang yang sangat Anda kasih, bisa saja besok menjadi musuh. Nah, ini perlu menjadikan momentum untuk selalu introspeksi yang bisa berubah dari yang kurang baik menjadi lebih baik," pungkasnya.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023