Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyebut diperlukan peraturan di level perundang-undangan karena masih ditemukan kasus-kasus penyalahgunaan distribusi pada "corporate social responsibility" (CSR).

"Setiap tahunnya diperkirakan terdapat Rp10 triliun hingga Rp15 triliun dana CSR yang tidak dikelola dengan maksimal. Oleh karena itu diperlukan peraturan dengan level undang-undang,” kata Bamsoet, sapaan karib Bambang Soesatyo, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Hal itu disampaikan Bamsoet yang menjadi Dosen Tetap Pascasarjana S3 Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur usai menguji disertasi mengenai “Tindakan Hukum Pemerintah Daerah Terhadap Perusahaan yang Tidak Melakukan "Corporate Social Responsibility” dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum, di Universitas Borobudur, Jakarta.

Dia mencontohkan sejumlah kasus penyalahgunaan distribusi CSR di antaranya penyelewengan dana CSR dari Boeing untuk korban kecelakaan Pesawat Lion Air JT-610 oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan nilai mencapai Rp107,3 miliar pada Agustus 2022.

“Pada Maret 2023 ditemukan indikasi penyelewengan dana CSR dari perusahaan tambang di NTB selama periode 2018-2022 dengan perkiraan total nilai mencapai Rp400 miliar. Pada beberapa kasus, penyalahgunaan dana CSR perusahaan di daerah juga melibatkan oknum pemerintah daerah,” ujarnya.

Baca juga: Bamsoet: Buku "Perang Rusia vs Ukraina" jadi referensi penting
Baca juga: Bamsoet dorong pemda optimalkan realisasi belanja APBD


Bamsoet menuturkan bahwa ketentuan mengenai CSR saat ini terdapat pada Pasal 74 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan setiap perusahaan menjalankan CSR. Namun, lanjut dia, penerapannya di lapangan masih sangat lemah karena tidak adanya ketegasan sanksi maupun hal lain yang membuat perusahaan bersedia menjalankan program CSR.

"Mengacu pada pasal 74 tersebut, perusahaan yang diwajibkan melaksanakan tanggung jawab CSR adalah perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam (SDA). Frasa berkaitan dengan SDA ini dimaknai ‘mengelola dan memanfaatkan SDA’ dan/atau ‘berdampak pada fungsi kemampuan SDA. Ketentuan ini membuat berbagai perusahaan lainnya terkesan tidak diwajibkan menyalurkan CSR. Karena itu, penelitian ini menghasilkan temuan tentang pentingnya perluasan penyaluran CSR oleh berbagai perusahaan lainnya," tuturnya.

Bamsoet menerangkan bahwa Undang-Undang tentang CSR dapat mengatur agar penyaluran CSR bisa tepat sasaran dan tepat guna, antara lain, sesuai standar International Organization for Standardization (ISO) 26000: Guidance Standard on Social Responsibility yang mencakup tujuh isu pokok, yakni pengembangan masyarakat; konsumen; praktik kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan organisasi pemerintahan.

"CSR memiliki peran penting dalam membangun kesadaran dan mendorong partisipasi para pelaku usaha untuk menyelenggarakan aktivitas perekonomian tanpa melupakan partisipasi dan kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena pada hakikatnya perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada 'shareholders' (pemegang saham) melainkan kepada masyarakat dan lingkungan ('stakeholders')," kata Bamsoet.

Untuk itu, dia menilai dengan adanya peraturan dengan level undang-undang maka diharapkan dapat mengubah paradigma perusahaan agar jangan memandang CSR sebagai beban melainkan sebagai wujud memperkuat kemitraan antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat.

“Dengan demikian bisa memberikan dampak pada peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, meringankan beban pembangunan pemerintah, memperkuat investasi sosial, dan ekonomi perusahaan yang bersangkutan," ucap dia.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023