Kota Bogor (ANTARA) - Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) University Profesor Dewi Sukma mengungkapkan dari hasil penelitian potensi pengembangan bisnis tanaman anggrek di Indonesia memerlukan konsentrasi bioteknologi dalam pemuliaan sehingga menghasilkan kualitas dan jumlah yang memenuhi kebutuhan pasar.

Profesor Dewi Sukma saat praorasi ilmiah secara daring, Kamis, mengatakan bahwa pendekatan bioteknologi sangat diperlukan dalam mendukung pemuliaan anggrek, sebab perbanyakan anggrek dari penyemaian benih hingga pembesaran bibit membutuhkan laboratorium kultur jaringan in vitro. Hal itu karena anggrek memiliki embrio yang tidak memiliki endosperm.

"Perkecambahan biji anggrek di alam membutuhkan bantuan mikroba simbiotik. Media kultur jaringan in vitro di laboratorium dapat menggantikan peran mikroba simbiotik bahkan meningkatkan keberhasilan perkecambahan," katanya.

Profesor Dewi menyampaikan optimasi media perkecambahan benih di laboratorium untuk Phalaenopsis sudah dilakukan sehingga dapat mendorong perkecambahan dan pertumbuhan bibit menjadi lebih baik untuk menghasilkan bibit bermutu. Berbagai pendekatan lain melalui bioteknologi tanaman dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan anggrek.

Anggrek (Orchidaceae) merupakan salah satu famili tanaman hias terbesar di dunia tumbuhan yang memiliki karakter yang sangat bervariasi dan bernilai ekonomi tinggi.

Diperkirakan jumlah spesies dalam famili Orchidaceae mencapai sekitar 30,000 spesies, lebih dari 29,000 spesies sudah didaftarkan di Royal Society Horticulture (RHS) Sekitar 5,000 spesies anggrek. Ribuan spesies itu diperkirakan juga tersebar di wilayah Indonesia.

Nilai bisnis anggrek dunia pada tahun 2020 sekitar 5 juta USD dan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 7 juta USD pada tahun 2027 dengan peningkatan CAGR 2021-2027sebesar 4.67 persen.

Meskipun Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah anggrek yang tinggi, ternyata impor anggrek Indonesia hingga tahun 2019 cenderung meningkat, terutama impor dalam bentuk tanaman, mencapai 2 juta USD pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peluang pasar anggrek dalam negeri cukup tinggi dan belum dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri.

Baca juga: Komunitas harapkan anggrek bulan Pelaihari Kalsel tak punah

Dengan demikian, peningkatan produksi bibit anggrek dalam negeri dengan jenis yang memenuhi selera pasar masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar anggrek untuk pasar di Indonesia diimpor dari Thailand sebesar 61.66 persen dan Taiwan 35.28 persen.

Berkaca pada Thailand, kata dia, yang merupakan produsen dan eksportir utama untuk dendrobium dan vanda, sedangkan Taiwan produsen dan eksportir utama untuk Phalaenopsis, oleh karena itu pengembangan ketiga genus tersebut perlu didorong untuk substitusi impor.

Profesor Dewi pun fokus pada satu genus tersebut di atas yaitu Phalaenopsis. Penyilang dari Indonesia sudah banyak yang mendaftarkan silangannya di RHS, namun keterbatasan jumlah pemulia untuk pengembangan varietas baru, dan lambatnya massalisasi produk menjadi kendala untuk menempatkan anggrek-anggrek yang dihasilkan dalam memenuhi kebutuhan pasar.

Ditambah lagi ketergantungan pada sarana pendukung produksi yang masih harus diimpor, serta perlu investasi besar dalam usaha agribisnis anggrek.

Anggrek juga membutuhkan waktu yang lama 6-7 tahun untuk menghasilkan varietas baru, sehingga membutuhkan passion, ketekunan, modal, kesabaran, konsistensi dan endurance untuk mengembangkannya.

Menurut dia, dukungan bersama berbagai pihak untuk mendorong pengembangan anggrek Indonesia sangat dibutuhkan.

Baca juga: Pemprov Kalsel konservasi ratusan anggrek spesies di Tahura
Baca juga: Pertamina gandeng kelompok tani hutan budidayakan Anggrek Lawu
Baca juga: Pemprov Kalsel luncurkan Program Kampung Anggrek

 

Pewarta: Linna Susanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023