Jakarta (ANTARA) - Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof Tjandra Yoga Aditama meminta langkah nyata pengendalian penyakit hepatitis melalui implementasi Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan.

"Tentu perlu disegerakan aturan yang lebih rinci untuk pelaksanaan dalam peraturan pemerintah yang akan disusun untuk mengimplementasikan UU Kesehatan di lapangan," kata Tjandra Yoga Aditama saat dikonfirmasi terkait Hari Hepatitis Sedunia 2023 di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan salah satu poin penting yang memerlukan intervensi pemerintah lewat UU Kesehatan berkaitan dengan pengobatan pasien Hepatitis C menggunakan direcy acting antivirus (DAA).

Baca juga: Kemenkes laporkan 4,2 persen pasien Hepatitis B dialami balita

Pengobatan DAA yang dimulai sejak 2017 masih dihadapkan pada tantangan, karena ketersediaan obat yang belum sepenuhnya terjamin di Indonesia, kata Tjandra.

Untuk pencegahan penularan dari ibu dengan HBsAg (+) ke bayi, kata Tjandra, disediakan Hepatitis B Immune Globulin (HBlg), vaksinasi Hepatitis B 1 sampai 3, dan mulai tahun 2023, diberikan pengobatan pencegahan dengan obat Tenofovir.

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu mengemukakan pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hepatitis.

Selain itu, kata Tjandra, akses terhadap layanan kesehatan komprehensif mulai dari pencegahan, skrining, testing, pengobatan, dan pemantauan pengobatan juga masih perlu ditingkatkan.

"Saat ini perlu disediakan porsi yang cukup dalam transformasi kesehatan untuk pengendalian hepatitis," katanya.

Tjandra mengatakan hepatitis disebabkan oleh virus dan dapat dibedakan menjadi Hepatitis A yang menular melalui makanan atau minuman terkontaminasi dan biasanya bersifat ringan.

Hepatitis B dan C menular melalui darah, cairan tubuh atau seks tanpa pengaman dan dapat menyebabkan penyakit hati kronik. Vaksinasi tersedia untuk mencegah hepatitis A dan B, kata Tjandra.

Tjandra mengatakan beban Hepatitis B di Indonesia hingga 2013 dilaporkan berkisar 7,1 persen atau setara 18 juta orang penderita. Hepatitis C sebesar 1 persen atau setara 2,5 juta orang penderita.

"Sirosis hepatitis setidaknya sebesar 175.211 kasus yang berhubungan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2022," katanya.

Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan mantan Kabalitbangkes Kemenkes RI itu melaporkan kasus Hepatitis B yang sudah diobati pada 2019--2021 mencapai 81.299 pasien.

Baca juga: Antivirus Tenofovir diintensifkan cegah Hepatitis anak sejak kandungan

Baca juga: Mengenal jenis hepatitis dan penanggulangannya


Cakupan hepatitis B pada kelompok ibu hamil di tahun 2022 mencapai 3.254.139 pasien. "Cakupan Hepatitis C dari 2017 hingga Juni 2023, telah dilakukan 858.465 tes anti-HCV dimana ditemukan 35.286 anti-HCV positif, 11.553 viral load terdeteksi dan 9.527 yang diobati," katanya.

Tanggal 28 Juli adalah Hari Hepatitis Sedunia yang diperingati masyarakat internasional setiap tahun, ditetapkan berdasar Sidang Majelis Kesehatan Sedunia (World Health Assembly/WHA) ke-63 pada Mei 2010.

28 Juli juga menjadi hari lahir dari tokoh penemu virus sekaligus pengembang vaksin hepatitis B, yaitu Baruch Samuel Blumberg.

Tema Hari Hepatitis Sedunia tahun ini yang dipilih WHO adalah One Life, One Liver. Sedangkan tema di Indonesia “Segerakan Tes dan Obati, Hepatitis Tidak Menunggu”.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023