Belakangan ini frekuensinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun
Jakarta (ANTARA) - Tren atau frekuensi balon udara tradisional pengganggu penerbangan domestik di Tanah Air pada beberapa tahun terakhir menurun karena publik makin memahami bahayanya jika dilepas secara liar.

"Belakangan ini frekuensinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun," kata Sekretaris Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (Perum LPPNPI) atau AirNav Indonesia Hermana Soegijantoro saat dihubungi di Jakarta, Jumat, terkait perolehan penghargaan CSR Outlook 2023 Award untuk kategori Best Practice in Creating Shared Value (CSV).

Menurut Hermana hal itu terjadi karena masyarakat sudah semakin mengerti dan memahami tentang bahaya yang dapat terjadi akibat pelepasan balon udara secara liar.

Ia memberikan contoh, sepanjang 2017 hingga pertengahan 2023, perusahaannya menerima sedikitnya 385 laporan pilot perihal gangguan balon udara di jalur penerbangan Jakarta – Surabaya dan sebaliknya.

Salah satu laporan pilot menyebutkan, secara visual pilot melihat balon udara melayang pada ketinggian 35 ribu kaki atau sekitar 10,6 kilometer di atas permukaan laut dan terus naik.

"Tidak hanya satu balon yang terdeteksi, namun puluhan balon terlihat jelas di ruang udara pada rute penerbangan berkode navigasi W45 ini dan salah satu rute domestik tersibuk di dunia," katanya.
Sejumlah bocah menangkap balon udara plastik yang jatuh di jalan raya Sawiji, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Sabtu (29/4/2023). ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Ia menyebutkan, fenomena balon udara liar diklaim oleh sebagian besar masyarakat Kota Pekalongan maupun Kabupaten Wonosobo sebagai tradisi budaya lokal yang harus terus dipertahankan, khususnya momentum Syawalan atau seminggu (H+7) setelah Hari Raya Idul Fitri.

Tidak sekadar diterbangkan, balon yang berbahan baku kertas minyak dan memanfaatkan asap pembakaran sekam padi untuk membuatnya melayang itu, juga kerap ditambahi petasan sebagai pernak-pernik yang membuatnya semakin atraktif.

"Sudah banyak kasus kecelakaan karena aktivitas ini, tetapi tradisi itu masih ada hingga saat ini," katanya.

Pemerintah, tambahnya, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Balon Udara Pada Kegiatan Budaya Masyarakat, mensyaratkan penggunaan balon udara tradisional oleh masyarakat dengan cara ditambatkan.

Sky Clear
Menanggapi fenomena itu, kata Direktur Keuangan AirNav Indonesia Azizatun Azhimah, perseroan mengembangkan program tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) berupa Sky Clear Programme (SCP).

SCP adalah program pemberdayaan masyarakat di Kota Pekalongan dan Kabupaten Wonosobo untuk meminimalkan aktivitas pelepasan balon udara tradisional oleh masyarakat yang berdampak terhadap keselamatan penerbangan.

Ia mengakui program ini efektif dan berhasil memadukan kepentingan perusahaan dalam mengantisipasi gangguan keamanan dan keselamatan penerbangan, serta berkontribusi dalam mengupayakan terjadinya pertumbuhan ekonomi masyarakat di kedua wilayah tersebut.

"Program ini dapat jadi wadah bagi kami untuk berinteraksi dengan masyarakat dalam menyosialisasikan serta memberikan edukasi tentang keamanan dan keselamatan penerbangan,” kata Azizatun.

Program ini mendapatkan penghargaan pada CSR Outlook 2023 Award oleh Olahkarsa & The Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) untuk kategori Best Practice in Creating Shared Value (CSV), di Jakarta, Selasa (25/7).
Baca juga: AirNav Indonesia dan TNI AU kerja sama pelayanan navigasi penerbangan
Baca juga: Boeing-AirNav bermitra jajaki peningkatan manajemen lalu lintas udara
Baca juga: AirNav gandeng Boeing tingkatkan layanan navigasi penerbangan

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2023