Saya sebagai ayah harus paling kuat, dan saya harus menguatkan. Meski saya adalah hancur,
Jakarta (ANTARA) - “Sudah bapak siapkan kamar sendiri buat adek dengan lampu rubah oranye, tapi adek pergi jauh sekali. Remuk bapak berantakan dipukul sekeras ini, maafin bapak, rasanya ada beling di dada setiap bapak menarik nafas. Rasanya ini akan selamanya, nggak ada obatnya. Bapak akan hadapi, sampai nanti kita bertemu lagi, Mili.”

Begitulah penggalan nadi aksara sang ayah, kepada putrinya yang telah tiada. Dan begitu pula akhir kisah perjalanan dari Ambanyu Mili yang meninggal dalam usia 18 bulan karena sakit. Ayah mana yang tak meronta dan memaki takdir tatkala menghadapi kenyataan putrinya telah tiada bahkan belum genap usia 2 tahun.

Muhammad Barkah Winata menahan pedihnya air mata yang sudah hangat membasahi ujung kelopak panca indera, ketika harus mengenang kembali masa bersama putrinya. Tak semua kalimat ia selesaikan dengan lancar, saat memanggil kembali sosok Mili yang bahkan tak akan datang kembali.

Kenangan saat terakhir dengan Mili masih terekam jelas, di mana ruang ICU adalah tempat terakhir Winata bisa menceritakan hal-hal baik kepada Mili yang masih terbaring lemah melawan sakitnya. Bukan tidak terhibur, bukan pula tidak tertawa, namun Mili terlanjur hilang kesadaran di malam itu karena sakit yang tidak ingin ia ceritakan.

Fajar merayap di sela Bumi, saat itu Mili pergi tanpa sempat memberikan tawa terakhir untuk Winata. “Saya sebagai ayah harus paling kuat, dan saya harus menguatkan. Meski saya adalah hancur,” kata Winata mencoba tegar menceritakan kembali.

Mili bukanlah anak satu-satunya. Winata memiliki anak lainnya yang usianya terpaut hampir 4 tahun. Winata dan istrinya dirundung duka berbulan lamanya. Tak ingin larut dalam kesedihan, Winata, yang merupakan editor di salah satu perusahaan swasta, mencoba memberi ruang dari sisa semangatnya untuk bangkit melawan pedih.

Tak terhitung air mata yang mengalir, ia dan istrinya, saling dukung menguatkan satu sama lain untuk percaya bahwa masih ada hal baik dari takdir pahit yang mereka terima.

 

Lahirnya “Mili Kecil”

Winata memiliki tekad untuk bersahabat dengan kenyataan, dimulai menuliskan kisah keseharian Mili dalam sebuah tautan media sosial. Di luar dugaan, simpati pembaca begitu besar melalui Twitter. Bahkan sempat menjadi tren  pembicaraan sementara waktu.

Mulai ia rangkum kisah Mili ke dalam buku berilustrasi dengan judul “Mili Kecil dan Pemilik Paket Misterius”. “Kenapa paket misterius? karena anak-anak biasanya suka menerima paket dari kurir, begitu juga Mili pada saat itu,” lanjut Winata menceritakan.

Buku “Mili Kecil” merupakan buku anak-anak, dengan karakter Mili di dalamnya beserta teman hewan yang sering ditemui Mili pada sekitar rumahnya. Ilustrator buku ini disematkan oleh Hana Augustine yang merupakan ilustrator profesional. Buku selesai dibuat, 300 eksemplar adalah jumlah pertama. Di luar dugaan antusias warganet begitu besar, terhadap buku “Mili Kecil”.

“Anehnya, saya tidak melihat itu sebagai kesempatan mengambil untung. Saya hanya ingin kisah ini dapat menghibur keluarga kecil di luar sana, dengan karakter Mili sebagai kenangannya,” tegas Winata. Benar saja, Winata membagikan bukunya secara gratis dengan uang pribadi untuk mencetak hingga mengirimnya. Meski bukan hal yang murah,  istrinya sepakat dengan Winata.

Tak sampai hitungan hari, buku itu habis terkirim kepada keluarga-keluarga yang menantikan cerita “Mili Kecil”. Winata tak puas, semakin ia membagi, ia merasa semakin bahagia, dan merasa lubang menganga yang ditinggalkan Mili, seakan pulih perlahan melihat balasan dari penerima buku merasa amat senang atas hantaran buku gratisnya.

Ia kembali merogoh kantungnya dalam, dengan mencetak 1.000 buku. Dengan sedikit perbaikan dalam tampilan buku, ia kembali gratiskan “Mili Kecil” kepada siapa saja yang ingin mengenal karakter putrinya, hingga akhirnya ada hampir 3.000 permintaan buku Mili yang sudah menunggu daftar kirim. Padahal ia hanya menyiapkan sebanyak 1.300 buku.

Mahalnya biaya cetak, ia berinisiatif menggalang dana untuk biaya cetak dan kirim pada 1.700 buku sisanya. Atau pilihan lainnya, ia menunggu kolaborasi dengan pihak yang mau mendanai kekurangan cetaknya. Jika pun ada keuntungan dari hasil donasi, ia ingin menyumbangkan kepada yayasan anak, agar Mili mendapatkan banyak amalan atas inisiatif orang tuanya.

Menurut Winata, buku Mili adalah sebuah kampanye kepada keluarga lainnya, agar lebih banyak menghabiskan waktu bersama putra-putrinya usai bekerja seharian, dengan cara membaca buku bersama-sama. Upaya Winata adalah ingin membangkitkan budaya literasi, sebagai wahana mendidik anak melalui cerita bergambar.

Ke depan, ia menginginkan Mili menjadi sebuah karakter abadi, di mana ceritanya bisa saja tak lagi relevan dengan kehidupan nyata Mili sebelumnya, namun adalah dunia fantasi anak yang menembus imajinasi demi terpenuhi kenangan indah kepada pembacanya.

“Tak pernah terbayangkan oleh kami bahwa Mili akan memiliki teman sebanyak ini. Menjadi bagian dari ribuan keluarga yang saling menyayangi,” tutup Winata dalam sebuah harapan kepada penggemar Mili Kecil.

“Aku dapat paket Pink dari 'Mili Kecil'. Gak tahu kenapa bacanya sambil nangis. Bukunya aku simpan untuk anak keduaku karena anak pertamaku sedang main sama Mili. Terima kasih. Semoga rezekinya tak pernah surut,” ujar @sawitridyanti dalam sebuah cuitan di Twitter mengunggah momen mendapatkan paket buku dari Winata.

“Halo, Mili. Terima kasih sudah memberikan kebahagiaan untuk keluarga. Bukunya dibaca sampai bolak-balik, Al-Fatiha untuk Mili, teriring kekuatan untuk ayah dan ibunya selalu,” tulis @suhnnycats memberikan balasan atas pemberian buku Mili Kecil.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023