Jakarta (ANTARA) - Pendiri National Battery Research Institute (NBRI) Evvy Kartini mengatakan bahwa baterai menjadi teknologi kunci dalam transisi energi di Indonesia.

"Bicara mengenai baterai, menjadi hal yg utama, menjadi kunci dari teknologi untuk menuju NZE (net zero emission)," ucap Evvy saat jumpa pers International Battery Summit (IBS) 2023 di Jakarta, Selasa.

NBRI bekerja sama dengan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Queen Mary University of London, Inggris menyelenggarakan IBS 2023 pada 1-2 Agustus 2023 di Jakarta.

IBS 2023 yang mengangkat tema Battery as a core technology for accelerating clean energy transition itu bertujuan mempertemukan pihak industri, pemerintahan, dan publik untuk mendiskusikan implementasi ekosistem baterai dan kendaraan listrik di Indonesia di masa depan.

IBS 2023 membahas topik utama mengenai proyek dan industri baterai terbaru di Indonesia dan internasional dari hulu, tengah hingga hilir.

"Indonesia kaya mineral resources, kita butuh bukan cuma nikel, kita juga butuh mangan, kita butuh kobalt, ada di Indonesia. Kemudian bagaimana Indonesia bisa membuat manufaktur baterai sendiri di Indonesia," lanjut Evvy.

Oleh karena itu, kata dia, pada IBS 2023 tersebut juga hadir pelaku manufaktur baterai dari China maupun dari Korea Selatan.

"Jadi nanti ada di summit ini pelaku manufaktur baterai walaupun di Indonesia belum ada, makanya kami gandeng dari China BAK supaya kita belajar nanti berkolaborasi, ada LG juga, dari Korea juga," ujar Evvy.

Selain itu, kata dia, pada IBS 2023 juga membahas soal recycling (daur ulang) baterai sehingga nantinya tidak menimbulkan masalah lingkungan.

"Kami juga akan bicara recycling, ini penting. Jadi circulate ekonomi itu adalah setelah jadi baterai nanti spent baterai. Jangan sampai nanti ada masalah lingkungan mengenai baterai bekas. Jadi, perlu di-recycle," kata Evvy.

Sementara itu, Asisten Deputi Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Tubagus Nugraha mengharapkan penyelenggaraan IBS 2023 dapat mengembangkan industri baterai di Indonesia jauh lebih baik lagi.

"Ketika berbicara hulu maka kita akan melihat bahwa apa yang dikerjakan itu khususnya untuk nikel, kita sudah buka dua jalur. Jalur kesatu, kita sudah banyak mengerjakan untuk stainless steel," kata Tubagus.

Ia mengungkapkan nilai ekspor stainless steel Indonesia pada 2014 baru senilai 1 miliar dolar AS. Kemudian, pada akhir 2022 sudah mencapai di angka 32 miliar dolar AS.

"Itu lah buah dari kebijakan daripada nikel untuk jalur stainless steel. Lantas, kami akan membuka dengan tuntutan pasar ada kebutuhan baterai, ada kebutuhan nikel, ada kebutuhan kobal. Banyak sekali investor yang datang ke sini untuk membuka fasilitas HPAL (high pressure acid learning) dan sampai sekarang memang ada beberapa yang sudah jalan," ujarnya.

Ia mencatat sampai dengan saat ini sudah ada 200 ribu ton produk MHP yang telah diproduksi di fasilitas HPAL yang ada di Indonesia.

"Ada di Morowali (Sulawesi Tengah), ada di Pulau Obi (Maluku Utara) dan mungkin yang di Pulau Obi sudah bergerak lebih ke kanan lagi lebih ke hilir lagi sudah ada nikel sulfat di sana dan akan bergerak terus ke hilir supaya kemudian membentuk sebuah baterai ekosistem yang ada di Indonesia," ucap Tubagus.

Baca juga: Menko Airlangga: Indonesia-Australia bisa jadi pemain utama baterai EV
Baca juga: Atasi limbah baterai bekas, China tingkatkan teknologi daur ulang
Baca juga: Tips merawat baterai motor listrik ala ALVA

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023