Antisipasi data inflasi yang masih tinggi di atas target The Fed sebesar 2 persen yang masih memberikan ruang bagi The Fed untuk kebijakan moneter ketat yang lebih lama
Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara BWS Rully Nova menyatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Selasa dipengaruhi pelemahan data perdagangan China.

“Ekspor dan impor China mengalami pertumbuhan minus masing-masing sebesar 14,5 persen (untuk ekspor) dan 12,4 persen (untuk impor),” ujar dia ketika dihubungi Antara, Jakarta, Selasa.

Selain itu, pengaruh lain yang menyebabkan pelemahan rupiah adalah antisipasi data inflasi AS yang akan dirilis pada Kamis (10/8).

“Antisipasi data inflasi yang masih tinggi di atas target The Fed sebesar 2 persen yang masih memberikan ruang bagi The Fed untuk kebijakan moneter ketat yang lebih lama,” ucapnya.

Senada, Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong mengatakan rupiah dan mata uang Asia pada umumnya melemah terhadap dolar AS setelah data perdagangan China yang lebih lemah dari perkiraan.

Data ekspektasi ekspor China diperkirakan -12,5 persen dan impor -5 persen, tetapi hasil rilis menunjukkan ekspor -14,5 persen dan impor -12,4 persen.

“Selain itu, rupiah juga tertekan oleh penguatan dolar AS oleh pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell yang mengisyaratkan apabila The Fed masih akan menaikkan suku bunga sekali lagi,” ungkap Lukman.

Pada penutupan perdagangan hari, rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,21 persen atau 33 poin menjadi Rp15.218 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.185 per dolar AS.

Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turut melemah ke posisi Rp15.229 dari sebelumnya Rp15.178.

Baca juga: Rupiah potensi melemah karena ada peluang kenaikan suku bunga acuan AS

Baca juga: Rupiah pada Selasa pagi melemah jadi Rp15.225 per dolar AS


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023