... kita sudah mendorong Kementerian PPN/ Bappenas dan Kementerian Keuangan, supaya program pemulihan hak korban ini lebih dimasukkan dalam satu anggaran yang memang khusus untuk pemulihan hak korban
Jakarta (ANTARA) - Selayaknya desa-desa di Indonesia, Desa Rajabasa Lama, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, dipenuhi oleh rumah-rumah berhalaman luas diselingi kebun. Di pojok desa, tepat di samping sungai, terdapat mushala kecil yang menjadi lokasi kejadian salah satu pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu Peristiwa Talangsari yang terjadi pada 7 Februari 1989.

"Hanya ini yang tersisa. Mushala itu baru dibangun kembali, tadinya di belakang ada pondok," ujar Edi Arsadad, Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) ketika ditemui ANTARA di Lampung, awal Agustus lalu.

Mengenang kembali kejadian 34 tahun lalu, Edi ingat dia tidak berada di tempat ketika peristiwa itu terjadi di daerah yang dulu dikenal sebagai Dusun Talangsari III itu. Meski memang mengikuti pengajian di lokasi itu sebelum 7 Februari 1989, dia kembali terlebih dahulu ke rumahnya Desa Sidorejo ketika Peristiwa Talangsari terjadi. Namun, rangkaian peristiwa terkait Talangsari juga terjadi di Sidorejo.

Masih duduk di kelas 1 SMP kala itu, Edi menyaksikan bentrokan yang terjadi di depan kediaman Zamzuri, salah seorang tokoh yang berafiliasi dengan Warsidi, yang memimpin kelompok di Talangsari. Keributan antara jamaah dan aparat kala itu memakan korban jiwa, dengan Edi mengaku menjadi saksi mata ketika mendiang Kepala Desa Sidorejo Santoso tewas dalam peristiwa itu.

Rumahnya, yang berada tidak jauh dari kediaman Zamzuri, juga turut terdampak peristiwa bentrokan di Sidorejo. Rumahnya rusak, dagangan orang tuanya yang menjadi sumber mata pencaharian keluarga, juga turut hilang.

Dia dan bersama ibunya lalu bertolak ke Padang, Sumatera Barat, usai kejadian itu untuk mengabari keluarga dan menginformasikan ayahnya belum kembali usai kejadian. Di sana dia dan ibunya sempat ditahan oleh aparat. Setelah dibebaskan, dampak dirasakan oleh keluarga usai kembali ke Lampung Timur.

Kalau secara ekonomi jelas mata pencaharian keluarganya semua hilang karena harta orang tua saat itu lenyap. Apa yang ada di rumah, semua sudah dijarah sama orang-orang. Bahkan untuk melanjutkan sekolah saja susah.

"Dampak ekonomi kami waktu itu tidak bisa bekerja lagi, buat modal tidak ada, orang tua saya pedagang, yang mau dijual sudah habis," kata pria yang berprofesi sebagai petani itu.

Stigma juga sempat dicantumkan pada pria yang kini berusia 46 tahun itu, seperti menjadi anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Prasangka itu menempel kepadanya bertahun-tahun setelah Peristiwa Talangsari terjadi.

Kini Edi menunggu terwujudnya pemulihan hak-hak korban, untuk memberikan dukungan bagi mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun. Dia juga berharap proses itu akan dibarengi dengan penyelesaian lewat proses yudisial.

Stigma dan prasangka juga dialami oleh Muhdiyanto, salah seorang korban Peristiwa Talangsari. Berbeda dengan Edi, dia berada di dusun itu jelang bentrokan terjadi antara jamaah Warsidi dan aparat. Usai mengikuti pengajian di Talangsari, Muhdiyanto menjadi salah seorang  dari lima warga yang diamankan aparat sebelum kejadian 7 Februari 1989.

Muhdiyanto sempat ditahan selama 3 bulan lebih, namun berbekal surat bebas akhirnya ia kembali ke rumahnya di Desa Sidorejo, disambut keluarga yang terkejut ketika melihatnya. Bahkan sang ibu sempat pingsan ketika menyaksikan dia masih hidup, pasalnya, keluarga mengiranya sudah tiada mengingat, tidak ada kabar berita usai kejadian di Talangsari.

Bahkan baju dan ijazah pria yang kini berusia 52 tahun itu juga sudah dikubur karena tidak ada yang melaporkan keberadaannya kepada keluarga.

Kembali ke rumah bukan berarti lepas dari masalah, Muhdiyanto mengalami banyak cemoohan dan menerima stigma dari masyarakat seperti menjadi anggota gerakan GPK dan dicap sebagai fundamentalis.

"Setelah saya pulang, yang jelas, lebih berat di luar dari pada di dalam tahanan. Setelah pulang, ejekan, cemoohan, dikucilkan. Waktu itu mau ke tempat teman yang sudah kenal saja ada jarak, mungkin enggak boleh sama orang tuanya, ya enggak tahu. Itu memakan waktu beberapa tahun," kata Muhdiyanto di Desa Sidorejo, Lampung Timur, awal Agustus lalu.

Dampak dari peristiwa itu dialaminya bertahun-tahun setelah debu terakhir yang diempaskan kendaraan aparat meninggalkan Talangsari. Ijazah rusak membuatnya tidak dapat melanjutkan sekolah, mendorongnya mencari penghasilan menjadi buruh serabutan.

Bertahun-tahun dia juga menjadi joki sepeda motor, membawa pulang sepeda motor yang akan dijual dari Jakarta ke Lampung. Faktor usia dan atas permintaan keluarga membuatnya berhenti dan kini mengandalkan pendapatan dari mengurus ternak orang lain dan ngarit atau mencari rumput untuk pakan ternak.

Selama masa yang panjang, dia menantikan pemulihan atas hak-haknya karena kejadian tersebut.


Titik terang

Kini hal itu mulai memiliki titik terang ketika Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu, dalam pernyataan di Istana Negara pada 11 Januari 2023. Salah satu peristiwa yang diakui oleh negara itu adalah Peristiwa Talangsari pada 1989.

Pernyataan itu dikeluarkan Presiden setelah menerima rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM). Dalam kesempatan itu, Presiden menyampaikan simpati dan empati kepada korban dan keluarga terkait apa yang mereka alami dalam 12 peristiwa pada periode 1965-2003 itu.

Presiden juga mengatakan pemerintah berupaya untuk memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijak melalui penyelesaian non-yudisial. Menegaskan bahwa proses itu tidak akan mengesampingkan upaya penyelesaian secara yudisial.

Pernyataan Presiden tersebut mengharukan bagi Muhdiyanto, yang selama puluhan tahun sudah berjuang menyuarakan soal Peristiwa Talangsari.

"Soal pidato pengakuan itu sangat terharu dan senang mendengarnya. Pak Jokowi lewat pidato itu sudah melepas beban negara ini," kata Muhdiyanto.

Korban Peristiwa Talangsari, Muhdiyanto ketika ditemui di Desa Sidorejo, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Rabu (2/8/2023). ANTARA/Syamsul Rizal/aa.

Penyelesaian Non-Yudisial

Negara sudah resmi mengakui bahwa telah terjadi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi di Tanah Air. Namun, korban dan keluarga mereka masih menantikan pemulihan atas hak-hak mereka yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung akibat peristiwa yang mereka alami.

Pemerintah kemudian mengambil terobosan untuk mendorong penyelesaian secara non-yudisial, yang prosesnya dimulai sejak 2022 dengan pembentukan Tim PPHAM lewat Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PPHAM.

Dalam proses beberapa bulan setelah resmi dibentuk pada Agustus 2022, Tim PPHAM kemudian akhirnya mengeluarkan rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Beberapa poin rekomendasi itu seperti menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Penyesalan itu sudah disampaikan oleh Presiden. Rekomendasi yang lain adalah memulihkan hak-hak korban dalam dua kategori yaitu hak konstitusional sebagai korban dan hak sebagai warga negara.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Letnan Jenderal TNI Teguh Pudjo Rumekso memastikan pemulihan dilakukan baik secara individual terhadap korban, ada pula yang komunal.

Pemulihan termasuk pemenuhan kebutuhan prioritas, contohnya, pemberian jaminan kesehatan lewat prioritas yang akan dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan. Diberikan pula bantuan berupa beasiswa kepada anak korban lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta pemulihan hak korban yang membutuhkan lewat Program Keluarga Harapan dari Kementerian Sosial.

Program pemulihan dan penyelesaian non-yudisial itu akan dilakukan lewat Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

"Dari 12 peristiwa itu dari tim berusaha semaksimal mungkin, sesuai dengan Kepres dan Inpres, akan berakhir di akhir Desember. Tapi kalau pun itu tidak selesai, harapan kami dari tim juga bisa dilanjutkan sampai selesai di tahun berikutnya. Dan tahun berikutnya, kita  juga sudah mendorong ke Kementerian PPN/ Bappenas dan Kementerian Keuangan, supaya program pemulihan hak korban ini lebih dimasukkan dalam satu anggaran yang memang khusus untuk pemulihan hak korban," ujar Pudjo.

Beberapa bantuan telah diterima korban yang berada di Aceh setelah peluncuran Program Pemulihan Non-Yudisial di Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, salah satu lokasi peristiwa pelanggaran HAM berat, yang diserahkan simbolis oleh Presiden pada 27 Juni 2023.

Beberapa korban Peristiwa Talangsari juga sebelumnya sudah mendapatkan bantuan dari program serupa yang dikoordinasikan Kemenkopolhukam pada 2020. Untuk Program Pemulihan Non-Yudisial tahun ini, masih terjadi proses pendataan korban di Lampung untuk memastikan bantuan dan pemulihan yang tepat sasaran.

Ketua Tim PPHAM sekaligus Wakil Ketua Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, Makarim Wibisono, mengatakan pemulihan hak-hak korban ini dapat menjadi titik terang bagi korban. Pemulihan hak-hak korban tidak akan menegasikan proses yudisial yang mungkin dilakukan ke depannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Lewat proses pemulihan non-yudisial, kata Makarim, diharapkan tabir mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM akan semakin terbuka.

"PPHAM sudah menghasilkan rekomendasi, kalau rekomendasi ini dijalankan dan kemudian korban-korban HAM merasakan rekomendasi-rekomendasi itu dijalankan dengan baik oleh pemerintah, insya Allah, hal ini kemudian akan membuat kesempatan-kesempatan mengatasi pelanggaran HAM yang lain," tutur Makarim.

Dengan demikian akan dapat terwujud keadaan yang lebih komprehensif kepada semua kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Pada akhirnya, itu akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang utuh dan solid, yang mengatasi masalah HAM dengan bijak dan atas kemampuan kita sendiri.








 

 

Copyright © ANTARA 2023