Jadi Undang-Undang ITE ini tidak berdiri sendiri
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah memberikan tiga rekomendasi atas Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) guna merespons persoalan anak-anak Indonesia dalam dunia siber.

Pertama, KPAI mendorong harmonisasi regulasi dengan aturan perundangan lainnya, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

"Jadi Undang-Undang ITE ini tidak berdiri sendiri," kata Ai Maryati dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi I DPR dengan agenda menerima masukan mengenai revisi kedua UU ITE, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Kedua, pemenuhan hak anak atas informasi sehat dan perlindungan di dunia siber. "Jadi di satu sisi mendorong partisipasi-nya, di satu sisi tetap memberikan perlindungan. Untuk itu, mengutamakan pendidikan publik dan memampukan literasi digital pada seluruh lapisan masyarakat, terutama anak," ujarnya.

Baca juga: Komisi I tepis rapat revisi UU ITE tertutup pertahankan pasal karet

Baca juga: BSSN sebut tugas dan fungsinya belum optimal karena terkendala UU ITE


Ketiga, pemenuhan hak partisipasi anak dan kebebasan, serta penguatan di dalam demokrasi. Ai menilai meski pembatasan tetap diperlukan, namun dengan menghadirkan ruang terbuka yang aman dan nyaman maka mendukung partisipasi anak dalam berpendapat maupun memberikan pandangan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Ruang terbuka yang aman nyaman juga sangat dibutuhkan oleh anak-anak kita, dan itulah wujud partisipasi yang sesungguhnya, di mana anak bisa memberikan pandangan dan pendapat secara bebas, secara luas ya, mengikuti batasan-batasan yang diberikan oleh aturan perundangan," tuturnya.

Berangkat dari rekomendasi tersebut, Ai memberikan beberapa usulan KPAI terhadap sejumlah pasal dalam RUU Perubahan Kedua UU ITE, di antaranya terkait makna "kesusilaan" yang termaktub pada Pasal 27 ayat (1) agar tidak hanya sebatas kesusilaan yang dimaksud di dalam pornografi.

Melainkan, lanjut dia, merujuk pula makna "kesusilaan" pada kekerasan seksual yang ada dalam UUPA dan sembilan bentuk kekerasan seksual yang ada dalam UU TPKS.

Ai juga mengusulkan agar pada Pasal 45 ayat (1) RUU Perubahan Kedua UU ITE tidak diberlakukan untuk anak sebagai pelaku, serta Pasal 28 dan Pasal 27 ayat (3) RUU Perubahan Kedua UU ITE tidak menimbulkan hambatan bagi anak untuk menyampaikan pandangan.

Selain itu, dia mengusulkan pada Pasal 28, Pasal 27 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), Pasal 45B RUU Perubahan Kedua UU ITE agar apabila anak berada dalam posisi sebagai pelaku, korban, dan saksi tetap menggunakan UUPA dan Sistem Peradilan Pidana Anak.

Baca juga: Dave Laksono sebut revisi UU ITE hampir rampung

"(Kemudian) Pasal 29 ini tentu saja pasal yang sangat penting karena berisi misalnya ancaman kekerasan menakut-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Nah, ini kenapa saya memberi perhatian sangat besar karena di sinilah cyberbully (perundungan) itu, anak-anak itu dengan mudah gitu ya melakukan tetapi juga dengan mudah dia menjadi korban," ucapnya.

Menanggapi usulan tersebut, anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi pun mengatakan bahwa sebagian besar usulan tersebut telah masuk dalam rancangan RUU Perubahan Kedua UU ITE terbaru yang digodok komisi-nya.

"Saya cuma ingin menyampaikan pimpinan bahwa mungkin hampir 95 persen masukan ini sudah kita adopsi dalam rancangan yang baru, tetapi rancangan ini kan mungkin karena belum Persetujuan Tingkat II kita belum bisa sampaikan," kata dia.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023