Inti dari segala hal tersebut adalah krisis tanah sehat di Bumi. Kerusakan tanah menjadi penyebab semua persoalan tersebut.
Jakarta (ANTARA) - Warga dunia melalui Perserikatan Bangsa Bangsa telah menetapkan 17 Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda pembangunan dunia untuk perdamaian dan kemakmuran manusia di planet Bumi sekarang dan masa depan.

Sederhananya, SDGs ditetapkan untuk menyelamatkan planet Bumi dari kerusakan akibat aktivitas manusia.

Dampak positifnya adalah beragam krisis seperti pangan, hutan, gambut, karbon, air bersih, dan polusi udara telah menjadi perhatian penting.

Para pengambil kebijakan, peneliti, dan aktivis lingkungan di setiap negara terdorong melakukan tindakan penyelamatan.

Namun, di balik krisis pangan, krisis hutan, krisis gambut, krisis karbon, krisis air bersih, dan krisis udara terdapat inti kehidupan manusia yang menjadi penopang semuanya.

Inti dari segala hal tersebut adalah krisis tanah sehat di Bumi. Kerusakan tanah menjadi penyebab semua persoalan tersebut.

Tanpa tanah yang sehat tidak ada pangan untuk manusia dan pakan untuk hewan. Tanpa tanah juga tidak ada hutan dan gambut tebal. Tanpa tanah tentu penambatan karbon tidak akan berlangsung dengan baik.

Demikian pula upaya mewujudkan ketersediaan air bersih dan udara bersih tidak akan pernah terwujud tanpa tanah yang sehat.

Persoalannya, kebanyakan pengambil kebijakan di dunia, peneliti, dan aktivis lingkungan adalah penduduk kota yang terasing dari tanah tempat kakinya berpijak. Di perkotaan, tanah sering kali tidak terlihat karena tertutup oleh bangunan, alun-alun, jalan, hingga tempat parkir.

Dampaknya, mereka menjadi kurang akrab dari tanah sebagai asal muasal kehidupan. Padahal pangan yang sehat dengan kandungan mineral yang cukup bagi manusia berasal dari tanah yang sehat pula.

Semua pihak harus memahami bahwa stunting yang cukup banyak diderita masyarakat miskin terjadi, antara lain, karena tanah tempat tanaman penghasil pangan tumbuh kekurangan unsur hara mikro.

Tingkat kematian yang tinggi pada pedet (anak sapi) dan gudel (anak kerbau) di Tanah Air juga disadari penyebabnya akibat tanah yang rendah kandungan kalsium dan fosfor.

Pakan rumput memang tetap terlihat hijau, tetapi tidak mampu menopang kehidupan sapi dan kerbau dengan optimal.

Pada konteks ini belum tercapainya cita-cita Indonesia berswasembada daging juga salah satunya terjadi karena kerusakan tanah atau pemilihan lokasi peternakan yang tanahnya tidak mendukung.

Demikian pula sebagian kecil lokasi lumbung pangan atau food estate yang gagal karena pemilihan lahan yang kurang tepat serta komoditas dan teknologi yang tidak spesifik untuk kawasan tersebut.

Dengan kata lain, tanah saat ini-- baik secara harfiah dan kiasan-- telah diabaikan oleh para pengambil kebijakan.

Satu milimeter tanah sehat terbentuk dalam waktu ribuan tahun sehingga perlu dilindungi atau dijaga. Akan tetapi sebagian besar manusia tidak memperlakukannya sebagaimana mestinya.

Ketidaksadaran, ketidaktahuan, di samping kepentingan ekonomi jangka pendek telah mengesampingkan nilai-nilai fundamental tanah yang menopang kehidupan manusia.


Riset tanah

Sebetulnya beberapa tahun terakhir, sebagian komunitas peneliti internasional telah berupaya memunculkan kembali urgensi tanah yang sehat untuk kehidupan, termasuk untuk menjawab perubahan iklim yang cepat.

Sebut saja Cristine Morgan dari Soil Health Institute, Morrisville, North Carolina, United States dan Alex McBratney dari Sydney Institute of Agriculture, The University of Sydney, Sydney, Australia yang menginisiasi pembentukan Journal Soil Security yang diterbitkan oleh Elsevier sejak Desember 2020.

Jurnal tersebut menawarkan pendekatan baru ketika ilmuwan ilmu tanah tidak hanya melayani kepentingan pertanian seperti pada awal perkembangannya.

Jurnal tersebut menawarkan ilmu tanah untuk melayani ilmuwan dan praktisi di bidang sosiologi, antropologi, ekonomi, lingkungan, hingga hukum, kesehatan, dan pengambil kebijakan.

Tentu jurnal tersebut disambut baik oleh banyak ilmuwan termasuk ilmuwan ilmu tanah dari Indonesia seperti Prof. Sukarman dan Prof. Dian Fiantis yang menjadi kontributor di jurnal baru tersebut.

Hal tersebut dapat diadaptasi dengan kondisi di Indonesia secara institusional. Sejak bergabungnya para peneliti ilmu tanah dari lingkup Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), rumah berlabuh para peneliti tersebut, khususnya para peneliti ilmu tanah, kini tersebar di berbagai pusat riset.

Demikian pula kondisi dua jurnal yang berkaitan dengan ilmu tanah di Tanah Air. Jurnal Ilmu Tanah dan Iklim yang sebelumnya dikelola oleh Balai Penelitian Tanah (Balittanah) dan Jurnal Sumberdaya Lahan yang sebelumnya dikelola oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian (BBSDLP) menjadi stagnan.

Kedua institusi tersebut kini bertransformasi menjadi Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk serta Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Sumberdaya Lahan Pertanian yang tidak lagi memiliki mandat mengelola jurnal penelitian.

Sesungguhnya bagi para peneliti Indonesia di bidang ilmu tanah, riset mengenai tanah dapat dilakukan, baik ketika berada di bawah payung besar Kementerian Pertanian maupun di bawah naungan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Persoalan baru muncul ketika para peneliti ilmu tanah dari berbagai institusi belum terwadahi dalam pusat riset yang spesifik di BRIN. Dampaknya, para peneliti ilmu tanah dan sumber daya lahan terserak di berbagai pusat riset. Akibat lebih lanjut, penelitian di bidang ilmu tanah menjadi kurang terfokus.

Tahun 2023 hendaknya menjadi tonggak sejarah kembalinya riset ilmu tanah dan sumber daya lahan di Tanah Air setelah secara formal berhenti pada Juni 2022.

Jika tidak, maka tanah sebagai inti dari beragam krisis seperti krisis pangan, krisis lingkungan, krisis gambut, krisis air bersih, dan krisis udara bersih masih akan terus terabaikan.

Demikian pula ancaman kerusakan tanah1 termasuk gambut di Indonesia telah sangat nyata sehingga kini menjadi prioritas dan sorotan global akan terabaikan oleh ilmuwan Indonesia.

Kini saatnya para periset ilmu tanah di BRIN memiliki rumah semisal Pusat Riset Lahan Pertanian atau Pusat Riset Sumber Daya Tanah. Hal ini tidak lain agar ke depan banyak dihasilkan riset aplikatif terkait ilmu tanah sehingga produktivitas tanah mampu terus menopang kehidupan masyarakat di Tanah Air secara berkelanjutan.



*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc dan Dr. Ir. Rizatus Shofiyati, M.Sc adalah Periset Ilmu Tanah di Pusat Riset Tanaman Pangan dan Pusat Riset Geospasial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).






 

Copyright © ANTARA 2023