"Terkait kampanye di dunia pendidikan khususnya di sekolah, itu bisa saja yang dibatasi jenjangnya misal sekolah menengah atas dengan asumsi anak-anak ini adalah calon pemilih pemula,"
Bandarlampung (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (Unila) Darmawan Purba mengatakan bahwa masyarakat harus melek politik sedini mungkin guna pemilu yang berkualitas.

"Terkait kampanye di dunia pendidikan khususnya di sekolah, itu bisa saja yang dibatasi jenjangnya misal sekolah menengah atas dengan asumsi anak-anak ini adalah calon pemilih pemula," kata Darmawan Purba di Bandarlampung, Minggu.

Menurutnya, memang idealnya pendidikan politik sudah diberikan sejak dini, hal ini juga guna mengubah paradigma masyarakat bahwa politik itu keras, penuh dengan konflik dan semacamnya.

"Selama ini kan kita dijauhkan dari partai politik seolah-olah politik itu kejam, keras, penuh dengan konflik tetapi sejatinya tidak demikian," kata dia.

Oleh sebab itu, lanjut dia, anak-anak muda pun harus terbuka dengan partai politik (parpol) bukan malah menjauhinya, karena mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan.

"Tentunya ini juga untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) di tubuh parpol yang berkualitas. Justru calon-calon pemimpin masa depan itu anak muda, sehingga sedini mungkin harus terbuka dengan parpol," kata dia.

Namun begitu, lanjut dia, memang harus ada aturan-aturan teknis dalam melakukan sosialisasi atau kampanye di sekolah ataupun lembaga pendidikan lainnya.

"Kan dalam kampanye juga tidak boleh menjelek-jelekan siapa pun, itu sudah diatur dalam peraturan. Jadi secara prinsip mungkin soal SOP nya kampanye saja yang perlu jadi atensi, tapi kalau secara prinsip saya anak muda harus sedini mungkin dikenalkan dengan parpol," kata dia.

Terkait adanya penolakan sejumlah kalangan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan namun sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye, Darmawan mengatakan bahwa putusan MK bersifat mutlak.

"Putusan MK itu bersifat mutlak dimasukkan bagian dari substansi Undang-undang (UU), nah pemerintah itu secara fungsional tugasnya menjalankan UU," kata dia.

Sehingga, lanjut dia, mereka yang menolak putusan MK itu, secara kelembagaan harus menempuh proses pengusulan revisi kembali.

"Jadi tidak menolak sifatnya, tetapi peninjauan kembali dengan berbagai pertimbangan, dengan berbagai argumentasi. Tapi secara prinsip putusan MK itu adalah perintah UU dan itu tentu jadi tugas pemerintah," kata dia.

Pewarta: Dian Hadiyatna
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2023