Persediaan pangan masyarakat Badui aman karena setiap panen, mereka menyimpannya di lumbung, tidak menjualnya,
Lebak (ANTARA) -
Masyarakat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak pada 1 September 2023 mulai memasuki musim tanam padi huma atau ngaseuk dengan cara melubangi tanah dan diberikan dua butir gabah.

Mereka menanam padi huma di ladang-ladang  sekitar kawasan permukiman Suku Badui, secara bergotong royong hingga melibatkan puluhan orang menanam padi itu.
 
Kebersamaan gotong royong masyarakat Badui itu dibuktikan pada gerakan penanaman padi huma. Mereka saling membantu dan bergantian menanam agar cepat selesai melakukan tanam.
 
Setelah merampungkan gerakan penanaman padi huma, mereka kembali menggarap lahan lainnya.
 
Penanaman padi huma itu dikembangkan sejak nenek moyang para leluhur adat. Masyarakat Badui dilarang menanam padi di lahan persawahan dengan menggunakan cangkul maupun bajak kerbau.
 
Pelarangan menanam padi di persawahan itu berlaku hingga kini. Kedaulatan pangan masyarakat Badui diwujudkan hanya dengan mengandalkan dari panen padi huma.
 
Padi huma itu bisa dipanen setelah 6 bulan karena menggunakan benih lokal dan tahan terhadap ke kekeringan.
 
Gerakan penanaman bagi masyarakat Badui tak mengenal kemarau --termasuk yang terjadi saat ini sebagai puncak El Nino-- yang bisa mengancam tanaman mati akibat kekurangan pasokan air.
 
"Kami tetap menanam padi sesuai jadwal kalender adat dan tidak mengenal kondisi cuaca karena tidak boleh menunda tanam mundur sampai Oktober 2023," kata tokoh masyarakat Badui Jaro Saija.

Leuit
 
Masyarakat Badui Dalam, dengan ciri khas pakaian putih-putih dan kepala ikat putih, tersebar di Kampung Kanekes, Cikeusik  dan Cikawartana. Adapun masyarakat Badui Luar, dengan ciri khas pakaian hitam dan ikat kepala biru, tersebar di 74 perkampungan.
 
Masyarakat Badui, setelah panen padi huma, menyimpang bahana makanan itu di leuit atau lumbung.
 
Leuit suku Badui tidak memiliki ukuran sama  karena bergantung pada luas lahan huma.
 
Pembangunan lumbung itu biasanya di belakang perkampungan dengan bentuk seperti rumah panggung yang ditopang oleh empat tiang kayu penyangga dengan tinggi sekitar 1--2 meter dari atas tanah.
 
Sebagian besar bahan yang digunakan untuk leuit merupakan bambu yang dianyam dan atap yang terbuat dari daun sago kirai.
 
Padi di dalam leuit bisa bertahan cukup lama, hingga puluhan tahun dan terbebas dari tikus  karena dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alam yang bisa menjauhkan dari hama tikus.
 
"Kami membangun leuit itu tidak menggunakan paku dan papan, cukup pakai bambu dan daun kirai karena sudah menjadi kepercayaan warga Badui," kata Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes itu.
 
Selama ini, masyarakat Badui belum pernah mengalami kerawanan pangan, apalagi sampai kelaparan.
 
Saat ini, cadangan pangan masyarakat Badui sebanyak 8.000 leuit sehingga memenuhi ketersediaan pangan dan tidak terdampak El Nino.
 
Andai padi huma gagal panen pun, masyarakat Badui masih memiliki cadangan pangan yang cukup.
 
Masyarakat Badui sejak dulu hingga sekarang memiliki kedaulatan pangan dengan memiliki leuit untuk menyimpan gabah padi hasil panen.
 
Jumlah lumbung yang ada sebanyak 8.000 leuit dari 4.000 keluarga dengan penduduk 13.309 jiwa.
 
Dari 8.000 lumbung pangan itu, jika rata-rata sebanyak tiga ton/lumbung, berarti jumlah total 24 ribu ton gabah.
 
"Kami meyakini stok pangan di lumbung itu bisa dijadikan pangan keluarga jika terserang hama maupun bencana alam," katanya.
 
Kubil (45), warga Badui, mengaku di lumbung pangan miliknya terdapat 3 ton dari hasil panen huma selama 5 tahun.
 
Sampai saat ini gabah yang ada di lumbung digunakan sebagai cadangan pangan jika terjadi pailit, seperti gagal panen akibat kemarau maupun dilanda bencana.
 
 
Pertanian ladang
 
Santa (45), petani Badui, mengatakan pertanian ladang masyarakat Badui setiap tahun selalu berpindah-pindah lokasi dan membuka lahan baru di perbukitan di kaki Gunung Kendeng, Banten.
 
Luasnya pun bisa mencapai 1-2 hektare di tanah milik sendiri maupun menyewa lahan orang lain.
 
Selain itu, tak sedikit juga warga Badui yang menggarap lahan milik Perum Perhutani dengan cara bagi hasil setelah panen.
 
Pertanian ladang berpindah-pindah tanam itu karena mampu memberikan kesuburan pada lahan tanaman.
 
Petani akan melaksanakan gerakan tanam pada awal September 2023 dan jika lancar tanpa hama, bisa dipanen pada April 2024.
 
Pertanian ladang di adat Badui memang sejak zaman dulu selalu memanfaatkan konsep ramah lingkungan, termasuk dalam hal penyuburan lahan dan produk pertanian. Dalam mengelola pertanian ladang, mereka juga tidak menggunakan pupuk kimia.
 
Penyuburan lahan pertanian ladang memanfaatkan abu sisa pembakaran ilalang dan potongan kayu ketika membuka lahan.
 
Metode penanaman tanaman di pertanian ladang dengan sistem tumpang sari dan terintegrasi di satu kawasan. Mereka melakukan penanaman sistem tumpang sari, mulai padi huma juga sayuran-sayuran, jahe, kencur, pisang, hingga tanaman keras.
 
Mereka menanam pertanian ladang secara tumpang sari, selain bisa menghasilkan panen padi huma sebagai cadangan pangan, juga bisa menambah pendapatan keluarga.
 
Sayuran bisa dipanen setelah 40 hari, adapun kencur dan jahe merah, dipanen setiap 10 bulan sekali. Adapun pisang dipanen setelah 1 tahun dan tanaman keras menghasilkan setelah 5 tahunan.

Model bercocok tanam masyarakat Badui itu, selain menghasilkan pangan, juga meningkatkan kesejahteraan keluarga.
 
Warga Badui sudah mempersiapkan tanam padi huma dan tanaman lainnya di ladang dengan pola tanam tumpang sari itu dan berharap curah hujan tinggi.
 
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Deni Iskandar menyatakan  selama ini cadangan pangan masyarakat Badui relatif aman dan belum terjadi kerawanan pangan.
 
Mereka memiliki ketahanan pangan yang kuat karena mempunyai cadangan pangan sekitar 8.000 lumbung dengan menyimpan gabah rata-rata 3 ton/lumbung.
 
"Persediaan pangan masyarakat Badui aman karena setiap panen, mereka menyimpannya di lumbung, tidak menjualnya," katanya.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023