Ini bisa menjadi momentum bagus, baik bagi ASEAN maupun China, untuk berangkat ke tingkat lebih praktis sehingga friksi di Laut China Selatan diminimalisasi atau dihindarkan.
Jakarta (ANTARA) - Pada tahun 2025, jika segalanya mulus, Persatuan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bakal melangkah lebih jauh menjadi Masyarakat ASEAN.

Visi Masyarakat ASEAN 2025 itu berpijak pada tiga pilar, yakni komunitas politik keamanan, komunitas ekonomi, dan komunitas sosial budaya.

Di antara ketiga pilar itu, komunitas politik keamanan adalah pilar yang sangat menantang, terutama karena ASEAN memiliki cara pandang berbeda-beda dalam melihat persoalan keamanan kawasan.

Secara geografis ASEAN diapit dua raksasa yang sengit bertarung di segala medan hubungan internasional, yakni China dan Amerika Serikat. Situasi ini kadang memperkeras perbedaan pandangan dalam ASEAN.

Meski secara geografis jauh, Amerika Serikat yang memiliki Guam, Armada Pasifik, dan sekutu-sekutu yang membentang dari pesisir barat Pasifik sampai jauh ke selatan di Australia dan Selandia Baru, memproyeksikan kepentingannya jauh hingga Asia Tenggara.

Sebaliknya, China yang berbatasan langsung dengan Myanmar, Laos, dan Vietnam, memiliki hubungan unik dengan ASEAN.

Di satu sisi, China semakin penting bagi ASEAN, terutama dalam kerangka ekonomi. Namun, di sisi lain, China bersengketa dengan sejumlah anggota ASEAN, di Laut China Selatan, khususnya dengan Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

China juga pernah beberapa kali terlibat insiden maritim dengan Indonesia dan Thailand.

Selain Sungai Mekong yang mengaliri wilayah Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam yang berhulu di China, Laut China Selatan adalah titik konflik yang menciptakan friksi antara China dengan sejumlah anggota ASEAN.

Friksi itu tak pernah berkurang kendati ASEAN dan China tengah merumuskan "pedoman tata prilaku" atau code of conduct (COC) di Laut China Selatan.

COC adalah pedoman tata prilaku yang mencerminkan norma, prinsip, dan aturan internasional yang sejalan dan mengacu kepada hukum internasional, khususnya UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) demi menciptakan kawasan Laut China Selatan yang stabil, aman dan damai.


Kekuatan penyeimbang

Dalam beberapa masa terakhir, Vietnam yang memiliki riwayat konflik relatif panjang dengan China, dan Filipina yang setelah berganti rezim dari Rodrigo Duterte kepada Ferdinand Marcos Jr menjadi condong ke AS, terlihat jalan sendiri-sendiri dalam isu Laut China Selatan.

Kedua negara kini cenderung mendekat kepada AS pada tingkat yang membuat mereka terlihat tak lagi mempertimbangkan mekanisme ASEAN. Akan tetapi mungkin saja mereka hanya berusaha mencari "kekuatan penyeimbang" dalam kaitan dengan sengketa Laut China Selatan.

Amerika Serikat sendiri memanfaatkan kecenderungan ini, apalagi mereka ingin meningkatkan level kerja sama dengan Vietnam seperti dinikmati China, Rusia, India, dan Korea Selatan.

Hubungan kerja sama Vietnam dengan keempat negara itu sudah berada pada level paling tinggi, "Kemitraan Strategis Menyeluruh". Sebaliknya, hubungan kerja sama AS dengan Vietnam baru pada level "Kemitraan Menyeluruh".

Level itu bahkan masih satu tingkat di bawah level "Kemitraan Strategis" yang dibina Vietnam dengan negara-negara ASEAN dan sejumlah negara Eropa.

Dengan menaikkan level hubungan dengan Vietnam, AS mendapatkan insentif besar berupa negara yang berbatasan langsung dengan China yang bisa dijadikan garis depan dalam menghadapi China.

Tak heran Presiden Amerika Serikat Joe Biden memilih singgah di Vietnam setelah menghadiri KTT G20 di India nanti ketimbang Indonesia atau negara anggota ASEAN lain.

Biden sudah memutuskan tidak menghadiri KTT ASEAN di Jakarta pekan ini tanpa diketahui pasti alasan sebenarnya sehingga menciptakan polemik di kalangan diplomat dan pakar.

Namun, "rekonsiliasi lebih jauh" Vietnam dan AS tak mengartikan Vietnam menjauhi China, apalagi China adalah mitra dagang terbesar Vietnam yang menurut Vietnam Investment Review, volume perdagangan Vietnam dengan China pada 2022 mencapai 175,57 miliar dolar AS.

Vietnam mungkin hanya berusaha membuat hubungan ekonomi yang kuat dengan China tidak menciptakan kondisi di mana akhirnya "yang lebih besar menjadi mendikte yang kecil". Untuk itu, mereka memerlukan kekuatan penyeimbang, termasuk dalam sengketa di Laut China Selatan.

Situasi itu membuat AS memiliki alasan untuk membendung pengaruh China. AS juga aktif melancarkan ofensif diplomatik terhadap India, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, untuk membendung pengaruh China.


Berdaya tahan tinggi

China sendiri bergerak dalam polanya sendiri, terutama dengan menggunakan kanal-kanal perdagangan dan ekonomi. Sejauh ini, pendekatan China di Asia Tenggara lebih berhasil ketimbang AS, sebagian karena pragmatisme sebagian besar anggota ASEAN, termasuk Indonesia.

Sementara itu, perubahan rezim dari Duterte kepada Ferdinand Marcos Jr membuat Filipina tak lagi terlalu condong kepada China. Negeri ini kini malah terang-terangan menantang China di Laut China Selatan.

Akan tetapi bukan berarti manuver Filipina dan Vietnam itu menyimpulkan kedua negara memandang ASEAN tidak efektif di Laut China Selatan. Mereka bisa saja sedang mendiversifikasi cara dan metode politik dalam kaitan dengan klaim mereka di Laut China Selatan.

Jika ini yang diinginkan kedua negara, maka manuver Filipina dan Vietnam itu semestinya melecut ASEAN untuk mengambil langkah nyata di Laut China Selatan, termasuk membumikan COC.

Sebenarnya sudah ada indikasi serius ke arah itu, ketika pada 2 September 2023, China dan ASEAN sepakat merampungkan perundingan COC dalam 3 tahun ke depan setelah 13 Juli lalu para menteri luar negeri ASEAN menyepakati pedoman akselerasi negosiasi COC.

Menurut Direktur Kerja Sama Politik Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, pedoman akselerasi negosiasi COC itu akan dimajukan dalam KTT ASEAN-China di Jakarta pada 6 September.

Ini bisa menjadi momentum bagus, baik bagi ASEAN maupun China, untuk berangkat ke tingkat lebih praktis sehingga friksi di Laut China Selatan diminimalisasi atau dihindarkan.

Namun demikian, sikap relatif tidak padu ASEAN tak hanya terjadi dalam isu Laut China Selatan. Dalam kasus Myanmar, misalnya, keadaannya pun begitu.

Sudah dalam dua masa keketuaan ASEAN, Thailand menyabotase ASEAN dalam mengatasi kasus Myanmar. Thailand melanggar Konsensus ASEAN untuk tidak bertemu junta, kecuali melibatkan pihak yang beroposisi kepada junta.

Kasus Laut China selatan dan Myanmar adalah dua dari beberapa tantangan besar yang dihadapi ASEAN dalam menciptakan persepsi bersama mengenai keamanan dan integrasi kawasan, yang penting bagi pilar masyarakat politik keamanan ASEAN, selain bagi persatuan ASEAN sendiri.

Tantangan tak kalah peliknya adalah dinamika geopolitik dalam peta besar Indo Pasifik di mana ASEAN berusaha ditarik untuk berpihak kepada kekuatan-kekuatan yang lagi bermusuhan.

Realitas dan tantangan seperti itu membuat pilar politik keamanan menjadi tiang yang terlihat sulit dipancangkan. Untuk itu, ASEAN harus mencurahkan energi lebih besar lagi dalam menegakkan pilar itu agar Masyarakat ASEAN memiliki fondasi yang kuat sehingga memiliki masyarakat kawasan yang berdaya tahan tinggi.







 

Copyright © ANTARA 2023