Ketika belum tersandung masalah, ajaran moral bahwa "harta, takhta atau jabatan bukan segala-galanya", mungkin tidak terlalu penting ...
Bondowoso (ANTARA) - Mengambil hikmah dari setiap peristiwa adalah sikap paling bijak, terutama menyikapi sikap-sikap kurang terpuji seseorang atau selebgram di media sosial.

Bukan bermaksud hendak menyoraki hukuman yang harus dijalani oleh Luluk, selebgram yang juga istri anggota Polri di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, melainkan justru kita bisa menimba pelajaran dari kasus itu.

Luluk melakukan perbuatan tidak menyenangkan, bahkan berbau penghinaan, kepada seseorang siswa magang di Probolinggo, yang perbuatannya itu kemudian menjadi viral.

Kalau biasanya perbuatan tidak menyenangkan itu viral karena videonya diunggah oleh orang lain, kasus ini justru menyebar luas karena Luluk sendiri yang mengunggah video perbuatannya itu di medsos.

Luluk kini menuai karma atas perbuatannya. Bahkan, suaminya juga terkena imbas, hingga dicopot dari jabatannya di polsek di kabupaten penghasil mangga itu.

Agama, khususnya Islam, mengingatkan umatnya agar saling menolong dalam kebaikan, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa (Surat Al Maidah Ayat 2).

Dalam konteks perintah kitab suci untuk tolong- menolong inilah kita bisa belajar dari kasus yang kini menimpa Luluk beserta keluarga terkena imbasnya.

Pesan utama dari kasus yang kini menjadi perhatian masyarakat ini adalah, "Hati-hati dalam mengunggah konten di media sosial".

Patut diduga Luluk tidak menyangka bahwa perbuatannya itu akan viral dan menjerumuskan diri dan keluarganya ke jurang hukuman, baik hukuman sosial maupun di internal kepolisian.

Meskipun secara sosial kasus itu telah diselesaikan dengan permintaan maaf pelaku kepada korban dan sekolah tempat korban menempuh pendidikan, pemimpin Polri betul-betul ingin mengingatkan anggota dan keluarga besar Korps Bhayangkara itu untuk berhati-hati dalam bermedia sosial.

Lebih dari sikap di media sosial, pesan lebih dalam dan substansial dari kasus ini adalah, "Berhati-hatilah bersikap pada orang lain". Meskipun sikap tidak baik itu tidak sampai viral di media sosial atau mungkin hanya pelaku dan korban saja yang tahu, tetaplah berbuat baik kepada siapa pun.

Perbuatan kita kepada orang lain, baik ataupun buruk, pada akhirnya dampaknya akan kembali kepada kita. Perbuatan kita, ibarat merpati yang tidak pernah lupa ke mana harus pulang. Setelah dilepas untuk terbang berkelana, merpati itu pasti kembali ke kandangnya juga.

Berbuat baik kepada orang lain, bukan orang lain yang akan menikmati dampaknya. Kalau menggunakan bahasa karma, semua perbuatan adalah tabungan karma untuk kita unduh di kemudian hari.

Dalam kasus Luluk ini, di satu sisi ia sedang tertimpa sial karena perbuatan membentak-bentak siswi yang sedang magang diketahui banyak orang, kemudian atasan suaminya menerapkan sikap tegas dengan memberi hukuman pencopotan dari jabatan.

Di sisi lain, apa pun keyakinan atau iman si pelaku, Tuhan sebetulnya sedang mengingatkan pelaku bahwa sikapnya itu tidak baik.

Kalau saja pelaku tidak sedang melayani egonya untuk marah-marah kepada siswa magang itu, ia pasti akan bersikap lemah lembut. Bisa saja dia mengingat jika anaknya sendiri diperlukan seperti itu oleh orang lain. Kalau tidak punya anak seusia korban, mungkin saja ada anggota keluarga dekatnya.

Ego memang selalu ingin dilayani, bahkan tidak akan pernah memberikan rasa puas. Kalau saja kasus ini tidak viral, mungkin saja pelaku belum puas dengan makiannya kepada korban sehingga perlu bertindak lebih kejam lagi. Begitulah jika kita hanya mau menuruti kehendak ego. Orang bijak mengumpamakan ini seperti meminum air laut yang tidak akan pernah menyudahi rasa haus.

Kembali ke bahasan tentang karma, sebetulnya semua agama mengajarkan tentang akibat dari setiap perbuatan kita.

Banyak cerita hikmah dari orang-orang biasa yang memilih selalu berbuat baik kepada orang, dengan harapan, kalau tidak dirinya yang menikmati akibat dari perbuatan itu, mungkin kelak anak-anak atau cucunya yang mengunduh kebaikan juga dari orang lain.

Mohon maaf, bukan untuk merendahkan pangkat seseorang. Jangankan hanya setingkat brigadir atau sersan di dunia militer, seperti pangkat dari suami Luluk, pangkat jenderal sekalipun tidak bisa dibuat gagah-gagahan untuk menghina atau menzalimi orang kecil.

Hukuman yang dialami Ferdy Sambo, yang dulu berpangkat inspektur jenderal, dengan jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) yang populer disebut sebagai "polisinya polisi", seharusnya menjadi pelajaran sangat berharga untuk tidak bersikap arogan kepada orang lain.

Ketika belum tersandung masalah, ajaran moral bahwa "harta, takhta atau jabatan bukan segala-galanya", mungkin tidak terlalu penting untuk dihayati dan dipegang teguh.

Barulah, ketika kita tersandung masalah akibat mengandalkan harta dan jabatan, ajaran moral itu akan diakui kebenarannya.

Pelajaran tentang moral tidak harus kita yang mengalami langsung. Kasus yang menimpa orang lain sejatinya adalah "bisikan" Tuhan yang harus kita dengar untuk kita berhati-hati. Dengan cara seperti itu, kita akan selamat.

Kembali ke sikap Kapolda Jatim yang tetap menindak anggotanya, yakni suami dari Luluk, agaknya tidak berlebihan, meskipun pelaku dan keluarga sudah meminta maaf kepada korban. Kasus itu sebelumnya sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Sikap pemimpin Polri itu merupakan pilihan represif sekaligus preventif. Bagi pelaku, tindakan dari Polda Jatim itu sebagai hukuman, tapi bagi keluarga anggota Polri yang lain merupakan langkah preventif. Ini mengandung pesan agar keluarga dan anggota Polri berhati-hati dalam bertindak, kalau tidak ingin mendapatkan hukuman serupa suami Luluk.

Apalagi, bangsa Indonesia akan memasuki tahun pemilu di 2024. Keluarga anggota Polri, termasuk keluarga anggota TNI, harus bersikap sangat hati-hati dalam bermedia sosial dan bersikap kepada masyarakat. Hal ini juga terkait pilihan politik keluarga anggota Polri dan TNI yang tidak boleh diumbar seenaknya sendiri di medsos.

Ini juga mengandung pesan agar anggota Polri dan anggota TNI tidak berdiam diri dengan perilaku keluarga dekatnya. Mengawasi perilaku pasangan (istri atau suami) dari anggota Polri dan TNI menjadi keharusan dalam setiap kesempatan.

Mengingatkan sikap keluarga ini, akan lebih baik jika dimotivi (diniati) oleh sikap batin yang baik, bukan semata-mata karena takut oleh hukuman yang akan diterima dari atasan.

Berbuat baik kepada orang lain hakikatnya adalah berbuat baik kepada diri sendiri, demikian juga sebaliknya. Mari berlomba-lomba dalam kebaikan, demikian agama mengingatkan.







 

Copyright © ANTARA 2023