Jakarta (ANTARA) - Pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un kali ini berlangsung dalam suasana jauh lebih menantang ketimbang pertemuan pertama mereka pada 2019.

Bulan April, empat tahun silam itu, Kim dan Putin bertemu, tak lama setelah terobosan diplomatik Presiden Amerika Serikat waktu itu, Donald Trump, terhadap Korea Utara, gagal total.

Saat itu Rusia belum berseberangan terlalu diametral dengan AS, seperti sekarang terjadi.

Dunia saat itu malah berharap baik kepada mereka, bahwa Putin bisa menjinakkan Korea Utara, sehingga tak terlalu memprovokasi keamanan global.

Namun, kunjungan Kim ke Rusia kali ini membawa suasana yang sangat panas, karena faktor hubungan AS dan Rusia yang mendidih gara-gara perang di Ukraina.

AS dan sekutu-sekutunya menilai pertemuan Kim-Putin, kali ini, yang juga digelar di Vladivostok di Timur Jauh Rusia, seperti empat tahun silam, sebagai upaya habis-habisan Putin dalam memperoleh amunisi perang yang amat dibutuhkan Rusia guna menundukkan Ukraina.

Dua bulan sebelumnya, pada Juli 2023, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu sudah lebih dulu mengunjungi Korea Utara, saat bertemu Kim di Pyongyang. Saat itu Shoigu sudah meminta Korea Utara agar mengirimkan amunisi perang kepada Rusia.

Shoigu juga mengajak Korea Utara menggelar latihan perang bersama Rusia. Korea Utara tak pernah menggelar latihan militer bersama, termasuk dengan Rusia dan China.

Agaknya permintaan Shoigu itu ditanggapi positif oleh Kim, sampai dia memenuhi undangan Putin untuk bertemu di Vladivostok.

Jika benar demi mendapatkan amunisi dan roket, maka setidaknya ada dua alasan yang membuat Putin menoleh Korea Utara.

Pertama, sistem persenjataan Korea Utara berteknologi dan berdesain sama dengan sistem senjata yang dibuat Rusia, karena sama-sama memakai desain era Soviet, sehingga satu sama lain kompatibel. Ini tentunya menunjang efektivitas penggunaannya di medang perang Ukraina.

Kedua, Putin menyadari bahwa mendekati negara yang sama-sama terkena sanksi internasional, seperti Korea Utara, adalah opsi paling rasional.

Negara-negara lain tak mungkin mau memberikan bantuan militer kepada Rusia, termasuk China, karena mereka terikat oleh resolusi PBB yang melarang bertransaksi senjata dengan Korea Utara.

Selain itu, kebanyakan negara tak mau berseberangan dengan sanksi Barat terhadap Rusia, selain terikat oleh pandangannya sendiri bahwa perang Ukraina harus diakhiri, sehingga akan absurd jika mereka malah memasok Rusia.

Sejauh ini hanya Iran yang berani melanggar tabu itu. Negara ini menjual ribuan unit drone Shahed yang digunakan Rusia untuk meneror kota-kota Ukraina, termasuk Kiev.


Lebih bandel

Dalam forum resmi, Iran membantah telah memasok alat perang kepada Rusia. Iran berdalih bahwa drone mereka sudah masuk inventori Rusia, jauh sebelum Moskow menginvasi Kiev akhir Februari 2022.

Sama seperti Korea Utara dan Rusia, Iran juga menjadi subjek sanksi internasional, karena mengembangkan senjata nuklir.

Tetapi, dalam soal kepatuhan kepada sanksi, Korea Utara jauh lebih bandel dibandingkan dengan Iran.

Mereka terus melakukan uji coba perkakas dan wahana perang strategisnya, mulai dengan meluncurkan peluru kendali antarbenua (ICBM) yang bisa mencapai semua daratan AS, sampai uji coba satelit mata-mata dan kapal selam bertenaga nuklir.

Memang, uji coba itu kebanyakan tak berhasil, tapi itu sudah efektif meneror Barat, Korea Selatan, dan Jepang, selain membuat seluruh kawasan menjadi gerah.

PBB sudah mengeluarkan sanksi yang melarang semua negara di dunia bertransaksi peralatan militer dengan Korea Utara.

Sedikitnya, ada sembilan resolusi yang melarang Korea Utara mengekspor dan mengimpor, tak hanya produk militer, namun juga nonmiliter, termasuk minyak.

Namun, yang paling relevan dalam konteks kunjungan Kim Jong Un ke Rusia kali ini adalah Resolusi 1874 pada 2009.

Resolusi itu menegaskan larangan ekspor dan impor senjata Korea Utara, dalam segala bentuk. Bahkan, resolusi ini disetujui juga oleh Rusia yang waktu itu pun tengah dipimpin Putin.

Oleh karena itu, dimensi pertemuan Kim dan Putin kali ini jauh lebih besar ketimbang pertemuan pertama mereka pada 2019, terutama karena faktor perang di Ukraina.

Perang itu sendiri sudah berlangsung lebih dari 18 bulan, sehingga jauh dari harapan Putin yang menginginkan perang berlangsung singkat dalam beberapa hari atau paling lama satu bulan.

Saat ini, pendulum perang tengah bergerak ke Ukraina yang sedang mengambil inisiatif menyerang lewat ofensif balasannya.

Perang yang terlalu lama itu sendiri menghabiskan energi Rusia, termasuk persediaan amunisi tempur, padahal Rusia tengah dalam momen-momen kritis karena harus menangkis pasukan Ukraina yang kali ini dipersenjatai wahana-wahana tempur buatan Barat yang disebut-sebut lebih canggih dari yang dimiliki Rusia.

Ukraina malah kian intensif meneror Rusia jauh ke dalam teritorinya, sampai ibu kota Moskow, walau hanya dengan mengerahkan drone.


Kehabisan amunisi

Menurut lembaga think tank pertahanan Inggris, Royal United Services Institute, sepanjang 2022 saja Rusia sudah menghabiskan 12 juta butir amunisi di Ukraina.

Tahun ini, kebutuhan amunisi Rusia diperkirakan mencapai 7 juta. Angka ini jauh di atas kemampuan pabrik-pabrik senjata Rusia yang hanya berkapasitas produksi 2,5 juta amunisi per tahun.

Padahal, ketersediaan amunisi sangat menentukan operasi militer. Apalah artinya howitzer, tank, atau wahana tempur canggih lainnya, jika tak ada peluru di dalamnya.

Karena mustahil dipenuhi pabrik-pabriknya sendiri, maka Rusia menoleh kepada negara-negara lain.

Sayang, karena sanksi internasional, opsi yang dimiliki Rusia sedikit sekali, hanya Korea Utara, tetapi itu sudah lebih dari cukup.

Korea Utara diyakini memiliki puluhan juta amunisi artileri dan roket yang dibuat berdasarkan desain Soviet, yang pastinya kompatibel dengan alat-alat perang yang saat ini dipakai Rusia di Ukraina.

Korea Utara disebut-sebut bakal mendapatkan imbalan berupa pasokan pangan, energi, dan bahkan transfer teknologi militer canggih dari Rusia yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan taktis strategis alat perangnya, termasuk ICBM.

Namun sejumlah kalangan meragukan Rusia mau berbagi teknologi militer canggih dengan Korea Utara, karena negara itu sangat melindungi industri militer canggihnya, bahkan terhadap China sekalipun.

Namun apapun itu, persekutuan Kim dan Putin itu membawa pesan yang bisa disebut mengerikan bagi dunia.

Inilah untuk pertama kalinya, dua negara yang paling dikucilkan dunia saat ini, dan sama-sama memiliki kekuatan militer besar serta bersenjata nuklir, bersatu dalam satu front.

Bahkan China akan berpikir dua kali untuk mengambil langkah senekat Kim dan Putin.

Pertemuan itu memesankan pembangkangan yang dilakukan kedua pemimpin terhadap tatanan global, yang bukan semata tatanan dunia versi Barat.

Namun demikian, Kim dan Putin tentu memiliki alasan untuk nekat, salah satunya karena merasa diprovokasi terus menerus oleh AS, di antaranya lewat kesepakatan trilateral AS, Jepang, dan Korea Selatan, serta Pakta AUKUS antara AS, Inggris, dan Australia.

Tetapi bisa saja pertemuan Kim dan Putin ini malah hanya perang urat syaraf yang dilancarkan kedua pemimpin ini dalam mengguncang keyakinan AS dan sekutu-sekutunya. Untuk itu, mungkin pertemuan ini malah tidak seberbahaya, seperti dibayangkan negara-negara Barat.

 

Copyright © ANTARA 2023