Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan fragmentasi geopolitik dan geoekonomi memberikan konsekuensi dan perubahan sangat mendasar dalam pengambilan kebijakan dan perekonomian.

“Pengambilan kebijakan kita tentunya tetap membuka perdagangan dan investasi, tetapi lebih pragmatis, lebih praktis, karena kita harus win-win solution. Ini adalah diplomasi ekonomi-politik (political diplomacy of the economy),” ujar dia dalam acara Konferensi Internasional 17th Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) dan Call for Papers dengan tema “Synergy and Innovations in Strengthening Resilience and Economic Revival" di Bengkulu yang dipantau secara virtual, Jakarta, Sabtu.

Di berbagai belahan dunia, lanjut dia, peningkatan fragmentasi geoekonomi dan geopolitik sedang berlangsung. Hal ini ditunjukkan dari fragmentasi dan ketidakpastian politik yang terjadi di Rusia dan Ukraina, sehingga pasokan global terkait pangan serta energi berkurang.

Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok turut memberikan dampak fragmentasi geopolitik dan geoekonomi yang dapat dilihat dari penurunan ekspor-impor antara kedua negara tersebut, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi mereka.

“Ini adalah kemunduran dari globalisasi. Begitu pula dampaknya, ketegangan geopolitik berdampak pada ekspor dan impor, tidak hanya AS dan Tiongkok, tetapi juga negara-negara lain di dunia,” ucapnya.

Baca juga: BI: Sinergi UMKM di BJCW 2023 jadi momen emas untuk tumbuh lebih kuat

Jika melihat dari kacamata akademis, manfaat globalisasi adalah perdagangan dan investasi yang terbuka yang memberikan keuntungan bagi semua. Namun, adanya ketegangan geopolitik antara dua ekonomi terbesar di dunia itu menciptakan ketidakpastian dan risiko global.

Menurut Gubernur BI, sumber pertumbuhan ekonomi global sedang berubah, seperti India yang kini telah bertumbuh dan berpotensi menjadi pusat pertumbuhan baru. Mungkin di masa depan, Afrika juga dapat menjadi pusat pertumbuhan mengingat perkembangan ekonomi sebagian negara dari benua itu mengindikasikan adanya potensi tersebut.

“Hal ini memiliki implikasi ketika kita tidak hanya berbicara tentang globalisasi, namun juga bagaimana perdagangan terbuka dan investasi di negara kita perlu diubah. Dulu, kita bisa terbuka untuk semua orang, tapi sekarang kita harus pragmatis. Siapa yang akan menjadi mitra dagang dan mitra investasi kita tidak hanya AS (dan) Tiongkok, namun juga perlu mempererat hubungan, (misalnya) Indonesia dan India,” kata Perry.

Baca juga: BI: Aliran modal asing keluar Rp4,45 triliun pada 11-14 September

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023