Jakarta (ANTARA) - Suara gemercik ombak memecah kesunyian pagi di sebuah perkampungan nelayan. Suasana itu menjadi pemandangan pertama yang dijumpai, usai menelusuri jalan kecil di perkampungan yang jauh dari suasana perkotaan, meski lokasinya ada di ibu kota.

Para nelayan juga tampak memulai aktivitas kala sang fajar mulai menyinari Bumi. Aktivitas mereka diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari membersihkan kapal kayu, mengangkat galon air, dan sejumlah anak yang berjalan kaki sambil bercanda dan bermain.

Kaki terus melangkah menelusuri kawasan pesisir ini. Jembatan terbuat dari kayu menjadi salah satu akses yang dilalui. Rumah-rumah warga beratap seng, berdinding tripleks juga menjadi pemandangan yang dijumpai di Muara Angke.

Berselang lima menit, terlihat sekelompok nelayan melakukan aktivitas bongkar muat kerang hijau dari kapal mereka. Semangat, kerja keras penuh perjuangan terpancar di wajah tujuh nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka di tepi Laut Jawa.

Muara Angke, salah satu daerah pesisir di Jakarta Utara, dikenal sebagai rumah bagi nelayan kerang hijau. Mereka hidup dan bekerja di sepanjang pantai dengan menggantungkan hidupnya pada kerang hijau.

Para nelayan begitu berhati-hati membongkar hasil tangkapan mereka. Kerang hijau segar yang dihasilkan dari perairan ini, bagi warga setempat merupakan sumber penghidupan utama.

Usai diturunkan dari kapal menggunakan ember, kerang hijau lalu dimasukkan ke dalam karung berukuran 50 kilogram. Karung berisi kerang tersebut tampak dibariskan rapi di atas dermaga. Sekitar 10 karung siap dipikul oleh para nelayan lainnya untuk dibersihkan.

Pembersihan kerang dilakukan di permukiman warga di sebuah tempat yang telah disiapkan. Dalam proses ini, ibu-ibu dan juga bapak-bapak membersihkan sejumlah karang yang menempel di cangkang kerang.

Dalam tahapan ini, juga terdapat warga lainnya bekerja sebagai pembersih kerang serta memproses dari mengupas cangkang, memisahkan daging dan cangkang, hingga perebusan. Kegiatan itu merupakan mata pencaharian yang vital bagi mayoritas warga di daerah itu.


Hadapi tantangan

Saat ini para nelayan Muara Angke menghadapi tantangan besar akibat adanya perubahan iklim. Kondisi ini berimbas pada hasil tangkapan mereka yang turun drastis. Akibatnya, juga berdampak pada ekonomi keluarga. Jerit nelayan kerang hijau yang kesulitan mencerminkan dampak nyata krisis iklim, kenaikan suhu air laut dan pola cuaca yang tidak stabil mengubah ekosistem perairan.

Sebagian dari mereka adalah keluarga nelayan yang turun-temurun menjalankan usaha tangkapan kerang hijau. Kini, banyak di antara mereka mengalami penurunan pendapatan yang signifikan karena hasil tangkapnya semakin berkurang.
Nelayan membongkar muat kerang hijau di Dermaga Kampung Nelayan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (17/9/2023). ANTARA/Bayu Pratama S.

Tetap melaut

“Bos kami saja sampai nangis karena kerangnya begini,” demikian sepenggal ucapan Darwan (46), nelayan kerang hijau di Muara Angke, yang ditemui ANTARA.

Adanya perubahan iklim yang melanda wilayah Indonesia rupanya berdampak pada hasil tangkapan nelayan kerang hijau di wilayah pesisir Muara Angke, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Darwan bercerita, adanya perubahan iklim sangat berdampak pada hasil budi daya kerang hijau yang dilakukan bersama kelompoknya.

Pria paruh baya itu bekerja pada pengusaha budi daya kerang hijau. Pendapatan bergantung pada hasil panen. Jika banyak, maka juga berdampak positif untuk pemasukan bagi keluarganya.

Akibat musim kemarau, ia bersama kelompoknya hanya bisa memanen kerang hijau 2 ton, bahkan tak jarang turun hingga 1,5 ton. Hasil panen ini sangat menurun drastis jika dibandingkan pada awal tahun 2023. Hasil panen kerang menurun sejak empat bulan terakhir.

Sembari melakukan bongkar muat kerang hijau dari sebuah kapal nelayan dengan ukuran di bawah 10 GT (gross tonnase), Darwan melupakan kesedihannya lantaran hasil panen yang begitu rendah.

Padahal, sebelum terjadi perubahan iklim mereka dapat memanen kerang hijau 5-6 ton. Panen dilakukan dalam jangka lima bulan sekali, namun kini panen dilakukan lebih singkat, yakni empat bulan dari masa budi daya. Akibat panen yang cepat, berimbas pada ukuran kerang yang kecil, bahkan banyak dilapisi karang-karang.

Dia menunjukkan kerang yang dipanen begitu kecil. Jauh dari pengharapan mereka. Karang-karang juga menempel pada cangkang kerang, sehingga harus dibersihkan terlebih dahulu, sebelum dijual ke pasaran.

Tak hanya pada volume panen, harga jual kerang hijau juga menurun drastis. Darwan menyebut bahwa biasanya kerang dijual dengan harga Rp150 ribu per satu karung berukuran 50 kilogram, namun kini turun menjadi Rp75 ribu per karung.

Dengan harga seperti itu, pengeluaran dan pemasukan menjadi sangat jauh, apalagi kelompok mereka harus menyiapkan biaya bahan bakar kapal dan konsumsi yang mencapai Rp400 ribu per harinya. Sekali panen mereka harus menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam ke lokasi budi daya kerang hijau.

Kini panen dapat dilakukan dalam empat bulan dari masa tanam, lantaran tak ada lagi aturan yang mengikat. Padahal pada bulan-bulan sebelumnya, ada aturan yang menentukan kapan bisa menanam dan kapan panen.

Hasil panen kerang hijau yang dilakukan Darwan disetorkan kepada bos atau pengusaha yang mempekerjakan ia dan rekan-rekannya, namun ada pula yang dijual di pasar daerah setempat ketika sudah malam hari. Sebelumnya kerang dijual per ember dengan harga Rp30 ribu, namun kini hanya Rp12 ribu.

Di pesisir yang dulu terkenal dengan panen kerang hijau yang melimpah, Darwan tetap setia menggeluti profesinya, meskipun hasil panen yang semakin minim. Dahulu, kerang hijau adalah sumber kehidupan yang subur, namun seiring berjalannya waktu, lingkungan laut mengalami perubahan yang merugikan dan jumlah kerang hijau yang dapat dipanen semakin berkurang.

Bagi Darwan, laut adalah rumah sekaligus sumber harapan untuk kehidupan keluarga. Baginya, melaut lebih dari sekadar mencari nafkah; namun bentuk pengabdian pada warisan keluarganya dan pada lingkungan laut yang telah memberinya nafkah.


Kawasan perikanan

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, memiliki luas 72 hektare dengan fasilitas lengkap, yakni ruang pendingin (cold storage), dermaga dan kolam labuh kapal perikanan, dok dan perbengkelan kapal, pasar ikan (grosir dan pengecer), tempat pelelangan ikan (TPI), restoran yang berdiri di atas laut, serta pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT).

Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, saat ini di kawasan Muara Angke baru terdapat 78 pelaku usaha yang bergerak di industri kelautan dan perikanan, dengan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sebanyak 3.120 orang.

Sementara itu, produksi hasil perikanan yang didaratkan di TPI Muara Angke pada 2022 terdiri dari produksi lelang sebesar 1,47 juta kilogram dengan nilai produksi mencapai Rp12,18 miliar dan produksi non-lelang 33,35 juta kilogram dengan nilai produksi mencapai Rp1,39 triliun. TPI di Muara Angke sendiri memiliki luas 2.212 meter persegi.

Produksi hasil perikanan di Pasar Ikan Muara Angke (grosir dan pengecer) pada 2022 sebesar 64,56 juta kilogram dengan nilai produksi mencapai Rp2,08 triliun, sedangkan produksi hasil perikanan di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) pada tahun 2022 sebesar 17,78 juta kilogram, dengan nilai produksi mencapai Rp597,5 miliar.

Pada 2022, jumlah kapal perikanan yang masuk ke PPN Muara Angke terdiri dari kapal perikanan dengan ukuran kurang dari 30 Gross Ton (GT) sebanyak 3.938 unit dan kapal perikanan lebih dari 30GT sebanyak 1.578 unit kapal.

Sementara jumlah kapal perikanan yang keluar dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara Angke terdiri dari kapal perikanan ukuran kurang dari 30 GT sebanyak 3.836 unit dan kapal perikanan lebih dari 30GT sebanyak 1.430 unit.

Berdasarkan data-data tersebut, kawasan Muara Angke memiliki potensi sebagai salah satu pusat keramaian sekaligus tujuan wisata favorit di DKI Jakarta.

Laut sebagai rumah bagi beragam ekosistem bawah laut dan berbagai jenis perikanan memiliki peran sentral dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati yang luar biasa, yang mencakup ikan-ikan, terumbu karang, dan makhluk laut lainnya.

Namun, perubahan iklim dan aktivitas manusia telah mengancam kelestarian laut ini. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan ekosistem laut menjadi tugas penting masyarakat bersama pemerintah, bukan hanya untuk masa kini, tetapi juga untuk mewariskannya kepada anak cucu kita.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) M Riza Damanik menyebut bahwa untuk menaikkan kontribusi ekonomi biru terhadap PDB Indonesia membutuhkan perbaikan dalam hal inklusivitas dan tata kelola sumber daya kelautan.

Perbaikan terhadap keduanya mensyaratkan partisipasi publik lebih luas lagi dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.

Keberhasilan mengakselerasi ekonomi biru menjadi solusi menghadapi tantangan ekonomi di 2023 dan mengantarkan Indonesia Emas 2045. Artinya, melindungi lautan sejalan dengan upaya melindungi sumber daya alam yang berharga dan memastikan bahwa generasi mendatang akan dapat menikmati manfaatnya.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023