Derna (ANTARA) - Pejabat pemerintah di Libya timur mengusir wartawan keluar dari kota Derna pada Selasa pagi setelah para demonstran menggelar aksi demo dan membakar rumah walikota yang digulingkan atas kemarahan karena kegagalan otoritas pemerintahan melindungi kota dari banjir.

Hichem Abu Chkiouat, Menteri Penerbangan Sipil pemerintahan di Libya timur, mengatakan kepada Reuters melalui telepon bahwa keputusan untuk mengusir wartawan dari kota itu tidak terkait dengan aksi protes yang berlangsung semalam.

"Ini adalah upaya untuk menciptakan kondisi lebih baik bagi tim penyelamat untuk melaksanakan pekerjaan mereka lebih mudah dan efektif," katanya. "Jumlah besar wartawan telah menjadi hambatan bagi kerja tim penyelamat".

Demonstrasi massa pada Senin itu merupakan pertama yang dilaporkan di kota setelah dihantam bencana alam terparah di sepanjang sejarah Libya pada pekan sebelumnya.

Jaringan komunikasi ke kota yang berfungsi meski terdampak banjir, dimatikan pada Selasa pagi. Ribuan orang dinyatakan tewas dan ribuan lainnya masih hilang tersapu banjir pada 10 September, ketika bendungan jebol di atas Derna saat terjadi badai, melepaskan arus air deras yang menyapu pusat kota.

Pada Senin, para demonstran memadati di alun-alun di depan masjid Sahaba berkubah emas yang terkenal di Derna sambil meneriakkan slogan-slogan. Beberapa orang melambaikan bendera dari atap masjid.

Kemudian sore harinya, para demonstran mengerumuni dan membakar rumah walikota Abdulmenam al-Ghaiti, demikian menurut manajer kantor walikota kepada Reuters.

Pemerintahan yang mengatur Libya timur mengatakan Ghaithi telah dicopot sebagai walikota dan seluruh anggota Dewan Kota Derna dibebaskan dari posisinya dan menjalani penyelidikan.

Sepekan setelah bencana, sebagian besar Derna tetap berada dalam kondisi berlumpur, dijelajahi oleh anjing-anjing liar, di mana para keluarga masih mencari jenazah di reruntuhan.

Libya telah menjadi negara yang gagal selama lebih dari 10 tahun, dan tidak ada pemerintahan yang menguasai seluruh wilayah sejak Muammar Gaddafi digulingkan di 2011.

Derna dikontrol sejak 2019 oleh Tentara Nasional Libya yang memegang sebagian besar wilayah timur. Selama beberapa tahun sebelumnya, wilayah itu dikuasai oleh grup militan termasuk cabang lokal dari Islamic State dan al Qaeda.

Para demonstran mengecam ketua parlemen yang berbasis di wilayah timur Aguila Saleh yang menyebut banjir adalah bencana alam yang tidak dapat dihindari.

"Aguila, kami tidak menginginkan kamu! Seluruh warga Libya adalah saudara!" teriak pengunjuk rasa.

Mansour, seorang siswa yang ikut dalam protes mengatakan ia menginginkan penyelidikan segera dilakukan terhadap runtuhnya bendungan yang "membuat kami kehilangan ribuan orang tercinta".

Taha Miftah (39) mengatakan aksi protes itu adalah pesan bahwa "pemerintah telah gagal menangani krisis", dan parlemen adalah terutama yang harus disalahkan.

Jumlah total korban tewas belum dipastikan dan ribuan orang masih dinyatakan hilang. Para pejabat memberikan informasi mengenai jumlah korban tewas dengan angka yang sangat bervariasi, sedangkan Badan Kesehatan Dunia WHO mengkonfirmasi 3.922 korban tewas.

Sumber: Reuters
Baca juga: Bantu korban banjir, 4 warga Yunani tewas dalam tabrakan di Libya
Baca juga: Korban tewas banjir Libya lebih dari 11.300 orang
Baca juga: Banjir Libya, lembaga bantuan serukan penghentian kuburan massal

Penerjemah: Arie Novarina
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023